In Time

intime-cover ff

 

 

Poster By: arin yessy @ Indo Fanfictions Arts

 

Title                 : In Time

 

Main Cast        : INFINITE’s L and TARA’s Jiyeon

 

Support Cast    : SHINEE’s Minho, EXO’s Kai, and BEAST’s Doojoon

 

Genre              : Fantasy, Mistery, Romance.

 

Rating              : Teen

 

Length             : Oneshot

 

Disclaimer       : The Casts are not mine, but the plot is mine. Please don’t be a Plagiator a

nd Re-   Post this fanfict without my permission.

 

AUTHOR POV

 

Summer 2015. Beach, South Korea.

 

“—jadi, kau sudah menemukan dia?”

 

Lelaki yang ditanya mengangguk sekali. Matanya sibuk menatap hamparan laut yang berkilau terbias sinar matahari. Wanita-wanita ber-bikini yang lewat hilir mudik didepannya sama sekali tak ia hiraukan. Segelas Lemon Tea tergenggam erat di tangannya.

 

Mungkin ia merasa musim panas tahun ini datang lebih cepat daripada tahun sebelumnya. Lebih cepat dan lebih cepat lagi setiap tahun. Hingga ia menyadari waktu terus memburunya di detik-detik yang ia lewatkan tanpa berpikir. Setengah membuatnya tertekan, namun pilihan lain belum terlihat olehnya.

 

“Lalu bagaimana keadannya?” pemuda yang lain bertanya dengan nada santai. Tanpa menoleh dan melihat apa yang sudah ia perbuat pada ekspresi wajah temannya itu. Ia malah terus-terusan tersenyum mesum kepada beberapa wanita yang kebetulan ber-kontak mata dengannya.

 

Ketiga pemuda itu sedang duduk berjemur di tepi pantai, lengkap dengan kursi dan payung yang menghalangi sinar terik mentari mengenai kepala mereka.

 

“She’s okay.” Jawab pemuda yang ditanya tanpa mengalihkan pandang. Ia teguk sedikit minumannya, kemudian kembali berujar sebelum sempat menarik napas, “Dia—dia kelewat baik-baik saja.”

 

Lelaki yang pertama kali mengeluarkan suara meletakkan gelas minumnya yang sudah kosong disisi kursi. Tatapan matanya menilik ekspresi sang sahabat yang hampir-hampir tak bisa dibaca. Lelaki itu berwajah tampan. Bertubuh tinggi dan atletis. Hidupnya beruntung karena di musim panas tahun ini ia resmi menjadi seorang CEO di perusahaan ayahnya. Dan orang-orang biasa memanggilnya—

 

“Ya Choi Minho! Bukankah itu Kwon Yuri? Astaga, kenapa dia keliatan semakin seksi saja!”

 

Perhatian Choi Minho tertarik sepenuhnya mengikuti arah telunjuk lelaki disampingnya yang tadi berteriak. Ia lihat sosok wanita yang pernah mengisi hati dan pikirannya sedang berjalan di kejauhan. Setengah tak sanggup, Minho menghela napas berat dan menggelengkan kepala. Ini bukan saatnya bernostalgia. Kisah cintanya dan Yuri sudah lama kandas. Sudah terlalu lama untuk dapat kembali. Meskipun ia masih menyimpan perasaan untuk wanita itu di dasar hatinya.

 

“Masa lalu,” gumam Minho mencoba terlihat biasa. Ia mengibaskan tangan di depan wajah dan menyambar gelas minumnya; lupa kalau gelas kaca itu sudah kosong sejak tadi ia taruh.

Terdengar tawa menyebalkan dari sisi kirinya, membuat Minho spontan memukul kepala lelaki yang lebih muda darinya itu.

 

“Berhenti tertawa, bodoh.”

 

“Tingkahmu, ya ampun.” Ucap lelaki ber-kulit gelap itu sekali lagi. Membuat Minho mendengus dan mencoba mengalihkan perhatian.

 

“So, apa yang sebenarnya terjadi? Kau tau waktu kita tidak banyak lagi. Portal akan tertutup dan kita harus menunggu untuk 5 tahun berikutnya.”

 

Lagi-lagi lelaki yang ditanyai hanya dapat mengangguk. Tatapannya tampak kosong saat bayang-bayang wanita itu melintasi pikirannya yang kalut. Semua ini terasa tak masuk akal.

 

Wanita-nya tak mungkin baik-baik saja.

 

Tak mungkin baik-baik saja seperti yang ia lihat.

 

“Kim Myungsoo, sekali lagi kau mengangguk, aku akan benar-benar ta—“ ucapan Minho terpotong ketika Myungsoo menoleh padanya, “akan kutemukan jawaban yang masuk akal atas keadaannya yang baik-baik saja, Minho. Kau dan JongIn hanya perlu menunggu sedikit lagi.”

 

Mendengar jawaban Myungsoo membuat Minho menghela napas. Terkadang Minho merasa Myungsoo sudah terlalu lelah, terkadang pula ia melihat sahabatnya itu termenung sendirian di dalam kamar. Pernah terbersit dipikiran Minho untuk mengakhiri pencarian mereka ini, namun Myungsoo terlebih dahulu memohon untuk tetap membantunya.

 

Menemukan seseorang di masa lalu memang tak mudah. Bahkan jika kau adalah seorang penjelajah waktu sekalipun.

 

“Keundae, siapa dia? Kau bilang kau sudah menemukannya, siapa dia?” JongIn mengubah posisi duduknya. Pertanyaan itu ia tujukan untuk Myungsoo, namun sepertinya Minho juga ingin sekali mendengar jawaban.

 

“Jacelyn Park.”

***

 

Summer 2010. Farewel Party. South Korea

 

“Park Jiyeon!”

 

Gadis itu menoleh. Bibirnya tertarik membentuk senyum ketika melihat siapa yang memanggilnya. Dengan balutan dress berwarna peach dan rambut yang dibiarkan terurai kesamping, ia melangkahkan kaki perlahan. Suasana riuh perpisahan sekolah serta musik yang bergema mengiringi ketukan heels nya menuju sang pemuda.

 

“Waeyo?”

 

“Jiyeon-ah, aku—aku ingin mengatakan sesuatu yang sangat penting.”

 

Jiyeon mengangguk singkat. Ditariknya tangan lelaki itu hingga mereka berada di halaman belakang gedung perpisahan. Disini ia tak lagi mendengar suara-suara yang dapat mengganggu percakapan mereka.

 

“Malhaebwa.”

 

Ketika Jiyeon hendak melepaskan genggamannya, sang lelaki justru menahan gerakan tersebut. Maniknya menilik ke dalam manik Jiyeon yang menyiratkan kebingungan. Meski jantungnya terus bertalu-talu, dan bibirnya hampir-hampir tak dapat terbuka—meski bagaimana pun keadannya; Ia tetap harus mengatakan semuanya kepada Jiyeon.

 

“Ya Kim Myungsoo, malhaebwa!”

 

“Aku—aku akan pergi.” Kata-kata Myungsoo terpotong saat dilihatnya ekspresi kaget diwajah Jiyeon, “Aku akan pergi ke London, untuk melanjutkan sekolahku. Ini memang mendadak tapi— maafkan aku, karena tak memberitahumu lebih awal.”

 

Kim Myungsoo menatap gadis di depannya dengan perasaan bersalah yang kentara. Ia bersumpah tak melupakan janji mereka untuk sama-sama melanjutkan sekolah di Universitas Seoul. Namun ia juga tak dapat menolak keinginan orang tuanya. Dan sekarang ia benci dirinya karena harus meninggalkan Jiyeon sendirian.

 

“Kenapa?” gumam Jiyeon yang sama sekali tak Myungsoo mengerti.

 

“Apa maksud—?”

 

“Kenapa kau baru memberitahuku sekarang?” kali ini Jiyeon memperjelas ucapannya. Ekspresi wajah yang menyiratkan rasa sakit dan kecewa, namun ia berusaha untuk tetap berdiri tanpa keinginan untuk pergi dan berlari.

 

“Karena aku—aku tak siap mengatakannya.”

 

Gadis itu mengangkat wajah setelah beberapa saat menunduk. Dengan suara lembut yang nyaris menyatu dengan helaan napasnya, ia berkata, “Nan gwenchana.”

 

Myungsoo terkesiap, dilihatnya bibir Jiyeon yang kembali melengkung. Surai coklat gadis itu berkibar terkena hembusan angin musim panas—dan hal itu membuat matanya terasa pedih.

 

Menutupi kesedihan dengan senyuman, Park Jiyeon sudah terlatih melakukannya.

***

 

Summer 2013. Myungsoo’s Apartment, London.

 

“Sialan! Sebenarnya bagaimana cara memunculkan portal terkutuk ini?!” Minho membanting buku setebal 567 halaman itu ke lantai dengan segenap kekesalannya yang terlanjur bertumpuk-tumpuk. Hampir-hampir ia menginjak benda tak berdaya itu jika saja Myungsoo terlambat 1 detik untuk menghentikannya. Hatinya nyaris sama panas dengan keadaan diluar sana. Bahkan pendingin ruangan dengan suhu nyaris mencapai batas ter-rendah ini tak mampu membendung amarahnya.

 

Apartemen Myungsoo yang semula rapi dan bersih, kini berubah menjadi ruangan yang super berantakan dengan puluhan buku berserakan di lantai dan di atas meja. Jika ingin bertanya siapa yang melakukannya, mungkin Minho adalah jawaban yang paling tepat. Kendati dari tadi yang ia perbuat hanyalah mengumpat dan melempar. Sampai-sampai terlintas dipikiran Myungsoo untuk mengusir sahabatnya itu keluar agar tak terus-terusan mengganggu konsentrasinya.

 

Lagipula ini semua ide gila Myungsoo. Yang bersikeras hendak menemukan gadis-nya yang terjebak masa lalu. Setelah mendapat mimpi buruk yang menjadikannya seorang penjelajah waktu, ia bertemu dengan Minho yang merasakan hal serupa. Dan sejak saat itu pula, pemuda bermarga Choi itu resmi menjadi partner kerja Myungsoo untuk menjalankan misinya—menemukan Jiyeon.

 

Karena setelah kembali ke Seoul 2 tahun yang lalu secara diam-diam, Myungsoo sama sekali tak mendapatkan petunjuk apapun mengenai Jiyeon dan keluarganya yang seolah menghilang tanpa jejak. Hal itu membuat Myungsoo khawatir sekaligus merasa bersalah; ia mencintai Jiyeon dan bagaimanapun caranya ia harus menemukan gadis itu.

 

“Aku menemukannya! Aku menemukannya, Choi Minho!”

 

“Jangan bercanda, Kim Myungsoo. Aku sa—“

 

“Bodoh, ini sebenarnya mudah sekali!”

 

Myungsoo tertawa terbahak-bahak hingga matanya memerah dan berair, satu tangannya memegangi perut sambil berguling-guling di atas sofa. Ia mentertawai kebodohannya selama ini; selama beberapa bulan belakangan. Betapa  pendek akalnya saat menyadari tiap baris kata yang sudah ia garis bawahi di halaman ke-99 buku “Time” milik dosennya yang juga seorang penjelajah waktu.

 

“…Portal untuk kembali ke masa lalu tak muncul dengan sendirinya. Itulah mengapa menjadi seorang penjelajah waktu tak mudah untuk dijalani. Kau harus gunakan kemampuan, intuisi dan pengalamanmu. Seseorang yang pernah tertera disini, bertemu dengan portal setelah 2 tahun pencariannya. Dan ia nyaris gila karena mengetahui betapa idiot dirinya. Satu hal yang harus kau ketahui adalah; bahwa portal tak akan muncul jika tanpa imajinasi yang kuat. Kembalilah ke masa lalumu dan temukan portalnya disana.”

***

 

Summer 2010. Park Family’s Mansion. South Korea.

 

“Menggelikan, benar-benar menggelikan! Aku bisa gila kalau begini caranya.” Lelaki jangkung itu terus menggelengkan kepala sampai ia sendiri merasa pusing. Sesuatu yang baru beberapa detik lalu terjadi padanya benar-benar luar biasa hingga  rasanya ia ingin menghantukkan kepala ke tembok atau menembak dirinya sendiri dengan pistol ayahnya. Antara dua pilihan itu, mungkin ia akan 100% gila jika melakukan salah satunya.

 

“Ya Choi Minho! Berhenti bertingkah seperti idiot dan cepat kemari!”

 

Kim Myungsoo menggeram melihat tingkah Minho yang serupa cacing kepanasan tengah mondar-mandir beberapa langkah dibelakangnya.

 

Memang mereka baru saja melintasi dimensi berbeda untuk sampai ke masa 5 tahun yang lalu dimana seharusnya Jiyeon bisa ditemukan disini. Katakan saja Myungsoo harus susah payah menerima jalan hidupnya yang lebih seperti cerita fantasi tak masuk akal karena mendapati dirinya terpilih menjadi seorang penjelajah waktu tanpa misi.

 

Dan sekarang, mereka berdua benar-benar sudah menjatuhkan diri melewati beberapa ruang kosong tanpa suara; berkeliling melalui seluncuran licin yang melingkar tajam; dan berakhir dengan teriakan keras karena terhempas di atas aspal.

 

Ternyata portalnya bisa dimunculkan dengan membayangkan masa lalu yang ingin dituju.

 

Well, ini tampak seperti masa lalu dan masa depan berjalan beriringan.

 

Semudah itu sampai Myungsoo harus memukul kepala Minho untuk menghentikan kelakuan konyolnya yang tak kunjung berakhir.

 

“Apa benar ini rumah Jiyeon?” tanya Minho sambil menggosok-gosok kepalanya yang berdenyut.

 

“Tentu saja. Aku sering main kesini, dulu.”

 

Tiba-tiba gerbang yang menjulang tinggi di hadapan mereka terbuka pelan-pelan. Menampakkan sesosok wanita paruh baya berbalut baju khas pelayan yang terengah-engah sambil memegang ponsel di telinga. Ia menggumamkan sesuatu yang membuat Myungsoo dan Minho tak mengerti. Tampak kecemasan yang kelewat kentara diwajah keriput wanita tersebut, bahkan kedua tangannya terlihat bergetar. Dan ia sama sekali tak terganggu dengan ekspresi kebingungan dua pemuda di hadapannya.

 

Entah Minho dan Myungsoo lupa tentang konsekuensi melintasi waktu atau—

 

“Dia tidak bisa mengingatmu, bodoh.” Umpat Minho ketika Myungsoo hendak bertanya padanya. Membuat lelaki berambut pekat itu tersentak dan berusaha mengingat barisan kalimat di buku lain yang pernah ia baca.

 

Sesaat berlalu ketika wanita itu menutup telfonnya dan memandang sekeliling. Dahinya berkerut tatkala mendapati dua pemuda tampan berdiri tak jauh darinya.

“N-nuguseyo?” suaranya nyaris terdengar serak dan tak berdaya.

 

“Ahjumma, apakah Park Jiyeon berada didalam?”

 

“Ji-Jiyeon Agasshi?”

 

Lima detik berlalu tanpa suara dan hal terakhir yang bisa Myungsoo tangkap adalah air mata yang bercucuran dari Ahjumma yang bekerja di rumah Jiyeon itu. Kabar buruk sepertinya ia terima dari sambungan telpon tadi. Dan cukup untuk membuat Myungsoo nyaris berpikiran yang tidak-tidak.

 

Karena segala kemungkinan bisa saja terjadi setelah ia meninggalkan Jiyeon selama 5 tahun hingga rasanya ingin lari sejauh mungkin kemudian menyumpal telinganya dengan benda apapun; kalimat terkutuk itu keluar dengan tersendat-sendat dari mulut Ahjumma,

 

“Jiyeon agasshi, me—meninggal.”

***

 

Seoul Hospital, South Korea.

 

Kim Myungsoo berlarian memasuki rumah sakit dengan napas yang memburu. Tangannya bergetar dan berkeringat. Pandangannya mengabur seiring air mata yang menetes. Ini pertama kali dalam hidupnya merasakan ketakutan yang begitu parah sampai ia ingin menghancurkan apapun yang menghalangi jalannya.

 

Gadisnya. Sudah meninggal?

 

Lelucon garing macam apa ini?

 

Myungsoo sama sekali tak merasa tergelitik untuk tertawa jika memang berita ini hanyalah sebuah lelucon. Ia bersumpah akan menghajar siapapun yang menyebar mimpi buruk ini ke telinga orang-orang disekitarnya.

 

“Kim Myungsoo, tenanglah sedikit!” Choi Minho menarik kerah baju Myungsoo yang menggedor-gedor pintu ruang rawat Jiyeon dengan membabi buta. Sebagai seorang sahabat, Minho sungguh merasa prihatin atas apa yang menimpa Myungsoo. Namun ia juga harus menyadarkan lelaki ini secepatnya, sebelum mereka menyebabkan keributan lebih besar.

 

“Myungsoo,” Minho kembali menginterupsi Myungsoo untuk menatapnya. Sementara pupil mata lelaki itu bergerak tak tentu arah. Air mata masih membanjiri pipinya. Bahkan sekarang lebih parah hingga membuat Minho melepaskan cengkramannya.

 

Dan Myungsoo merosot ke bawah seolah tak punya tulang.

 

Ia terlihat benar-benar rapuh; Minho nyaris menariknya keluar dan membawanya pulang ke jaman mereka.

 

Meskipun yang dapat memunculkan portalnya hanya Myungsoo; karena masa lalu ini miliknya.

***

 

Setelah hampir satu jam menunggu di depan ruang inap Jiyeon—yang kini berkumpul keluarga besar gadis itu dan membuat Myungsoo serta Minho harus pandai-pandai menyembunyikan diri—akhirnya seorang dokter dan beberapa suster keluar dengan membawa sesosok tubuh yang kaku tertutup kain putih.

 

Sejenak Minho melihat ayah Jiyeon berbicara dengan dokter tersebut, kemudian menangkap ekspresi tak biasa diwajah lelaki paruh baya itu membuat Minho bertanya-tanya kepada dirinya sendiri. Ekspresi itu bukanlah ekspresi yang patut ditunjukkan di tengah-tengah situasi seperti ini.

 

“Ji-Jiyeon…” Minho tersentak saat mendengar suara parau Myungsoo dari arah sampingnya. Lelaki itu menoleh dan mendapati sang sahabat tengah berjalan mendekat menuju ranjang beroda tempat Jiyeon berbaring tak bernyawa. Meski masih merasa tak percaya, Myungsoo tetap tak mampu membendung kesedihannya.

 

“Myungsoo-ya, aku merasa ada yang aneh—“ ucapan Minho terhenti ketika menangkap siluet wajah terkejut Myungsoo yang kelewat membingungkannya. Tubuh Jiyeon kembali dibawa menuju ruang mayat setelah membiarkan sanak saudara menangisinya selama beberapa saat. Bahkan melihat bagaimana eomma Jiyeon nyaris tak sadarkan diri membuat Myungsoo merasa ini benar-benar nyata.

 

Namun saat Jiyeon melewatinya, ia mendapati suatu kejanggalan yang amat fatal. Mata yang berair tak mampu menutupi pandangannya ke arah kain putih bersih yang menutupi tubuh gadis itu. Entah suatu keberuntungan atau tidak; Myungsoo melihat jempol kaki Jiyeon—yang tersingkap kain—yang mulus tanpa bekas luka masa kecilnya.

 

Padahal, sungguh, Myungsoo tak pernah bisa melupakan saat-saat dimana Jiyeon menceritakan dari mana asal-usulnya mendapatkan luka yang masih membekas itu.

 

“Minho-ya, jika aku masih boleh berharap—aku rela menghabiskan lebih banyak waktu untuk mencari keberadaan Jiyeon yang sebenarnya.”

***

Pemakaman Jiyeon. Seoul, South Korea.

 

Hari itu mendung; awan hitam menggantung-gantung di atas langit yang semula cerah. Angin yang berhembus nyaris seperti bergulung-gulung menghantam apa saja yang dilaluinya. Matahari seolah terlihat menyerah, angkat tangan dan tak berdaya. Mungkin bersembunyi sampai waktunya tiba untuk muncul lagi. Entah nanti, atau bahkan besok.

 

Beberapa orang mulai melangkahkan kaki menjauhi makam Jiyeon yang telah penuh ditaburi bunga dan siraman doa. Mereka yang semula memenuhi tempat sunyi itu satu persatu mengucapkan salam perpisahan hingga menyisakan udara kosong—dan Jiyeon yang sendirian di dalam sana.

 

Myungsoo datang dengan langkah gontai, hampir-hampir terjungkang kalau saja Minho tak menopang tubuhnya yang terlanjur tak berdaya. Lelaki ber-iris hitam itu terduduk di sisi makam, jemarinya meraba gumpalan tanah yang tertutupi bunga-bunga. Bahkan sampai saat dimana hatinya mulai meragukan kematian Jiyeon, ia tetap menangisi gadis itu seperti orang-orang yang dilihatnya tadi.

 

Sementara menunggu Myungsoo mengajaknya pulang, Minho mengedarkan pandangannya ke sekitar. Benar-benar sunyi dan sepi. Tak ada satupun benda yang tampak mencurigakan sampai manik Minho menangkap siluet seorang pria bertubuh tegap yang tiba-tiba muncul sekitar 7 meter dari tempatnya berdiri.

 

“Kim Myungsoo dan Choi Minho?”

 

Myungsoo terkesiap. Kepalanya mendongak menatap pria berwajah tegas yang ia sendiri tak tau entah sejak kapan berada di hadapannya.

 

“Siapa kau?”

 

Pria itu mengibaskan tangannya di depan wajah, seketika ekspresi yang tadinya serius berubah menjadi lebih bersahabat.

 

“Kalian melihatku seolah aku adalah alien yang jatuh dari planet antah-berantah,” kemudian ia melanjutkan dengan nada yang jauh lebih santai, “Yoon Doojoon. Dan perlu kalian tau bahwa aku adalah senior kalian. Aku datang kesini dengan susah payah setelah mengobrak-abrik apartemen mu, Kim Myungsoo.”

 

“Apa tujuanmu menemui kami?” tanya Minho setelah terdiam mendengar cerita seseorang yang mengaku sebagai seniornya itu. Namun tak dapat Minho pungkiri, bahwa ia sungguh nyata melihat Yoon Doojoon muncul tiba-tiba dari udara kosong dengan kaki yang anggun menapak tanah. Tak seperti mereka yang justru muncul dengan hempasan pantat yang menyentuh aspal.

 

“Kim Myungsoo, apa kau yakin yang didalam sana itu adalah Park Jiyeon?” Mengalihkan pandangan dari Minho menuju Myungsoo, pertanyaan itu meluncur bebas dari mulut Doojoon. Mau tak mau membuat Myungsoo terkejut walaupun entah kenapa ia merasa sudah menduga. Dan entah kenapa pula ia langsung mempercayai pria ini dengan sekali tatap.

 

“A—aku,” Myungsoo tergagap, jempolnya perlahan mengusap sudut mata yang basah, “Aku tak melihat bekas luka di jempol kaki Jiyeon yang kutemui di rumah sakit tadi. Entah penglihatanku yang salah atau apa—tapi aku memang tak sempat menatap wajah Jiyeon untuk yang terakhir kalinya sampai ia dikuburkan disini. Jadi aku meragukan—”

 

“Nah,” Yoon Doojoon si senior menjentikkan jarinya dengan bersemangat, menyebabkan Minho mendelik padanya dengan ekspresi tidak suka, “Itu membuktikan dia bukan Jiyeon. Siapapun dia, yang pasti dia bukanlah seseorang yang kau cari. Kudengar wanita itu mati karena sebuah penyakit. Apakah itu benar?”

 

Minho mendelik sekali lagi mendengar kata-kata kurang sopan yang diucapkan Doojoon, setelahnya barulah ia menjawab karena Myungsoo memilih untuk tetap diam. Mereka heran kenapa Doojoon bisa mengetahui penyebab kematian Jiyeon, namun hal itu tak menjadi begitu penting selain maksud keberadaan lelaki itu disini.

 

“Ne.”

 

Myungsoo dan Minho memang mendengar Ahjumma pelayan dan supir rumah Jiyeon mengatakan soal penyakit yang sudah Jiyeon derita selama kurang lebih 1 tahun. Dan bodohnya Myungsoo, ia sama sekali tak menyadarinya sampai hari ini.

 

“Kalau begitu, dimanapun Park Jiyeon berada sekarang, ia pasti tengah merasakan rasa sakit yang sama. Dan akan benar-benar mati dengan cara yang sama kalau kau terlambat menyelamatkannya.”

***

 

Summer 2015. Beach, South Korea.

 

“Kau yakin Jacelyn Park adalah Park Jiyeon?”

 

“Mereka benar-benar mirip,” gumam Myungsoo sesaat sebelum ia mengeluarkan ponselnya. Terdengar hembusan napas setelah ia membuka galeri foto dan menunjukkan foto Jiyeon serta foto Jacelyn kepada Minho dan JongIn.

 

“Lalu apakah menurutmu Yoon Doojoon berbohong kepada kita?”

 

Selagi Myungsoo berpikir dengan dahinya yang terus berkerut, JongIn justru asik membolak-balik foto Jiyeon dan kemudian menilainya dari sudut pandang lelaki. Hampir saja ia ketahuan menggumam, “Wanita ini sungguh cantik.”

 

“Satu-satunya cara yang dapat terpikirkan olehku sekarang adalah menemui Senior Yoon kembali.” Ucap Myungsoo sambil menatap Minho.

 

“Bagaimana caranya?”

 

“Siapa Senior Yoon itu?”

 

Pertanyaan yang hampir dalam waktu bersamaan itu keluar dari mulut Minho dan JongIn.

 

“Mungkin kita harus membaca buku-buku tua itu lagi. Dan JongIn, sebaiknya kau tanyakan pertanyaan itu pada Minho.”

 

Kemudian Myungsoo kembali menghela napas. Bebannya belum terangkat sempurna meskipun ia sudah menemukan foto orang yang kemungkinan besarnya adalah Jiyeon. Beribu tanda tanya menyerbu kepalanya hingga hampir tak dapat ia bendung.

 

Tapi bagaimanapun caranya, aku harus bertemu dengan Senior Yoon.

***

 

Doojoon’s Apartment, South Korea.

 

“Darimana kalian tau aku tinggal disini?”

 

Melihat ekspresi heran diwajah Doojoon membuat JongIn menyadari betapa jauh berbeda usia mereka. Dan membuatnya untuk pertama kali merasa harus memanggil Doojoon dengan sebutan ‘Hyung’.

 

Kini JongIn beserta dua temannya sedang berada di Apartemen Doojoon yang cukup elit. Mengitari pandangan ke sekeliling, mereka dapat melihat barang-barang yang tertata rapi dan lantai yang mengkilap. Membuktikan bahwa lelaki yang Myungsoo panggil Senior itu benar-benar merawat Apartemennya dengan baik.

 

“Kurasa itu tidak penting untuk dibahas,” jawab Minho sambil membetulkan posisi duduknya, “kami hanya beruntung kau berasal dari jaman yang sama.”

“Ya, ya, Choi Minho. Kau melihatku seolah aku adalah kakek-kakek tua yang pekerjaannya hanya melintasi waktu.”

 

“Tapi kau benar-benar terlihat seperti itu, Hyung. Sampai-sampai aku merasa dejavu.” JongIn menyeletuk di sela-sela nada kesal Doojoon yang merasa terhina. Dalam hati ia merutuki tugasnya yang mengharuskan ia tinggal di masa ini dan meninggalkan orang-orang tercintanya di masa lalu. Apalagi tugas itu tidak akan selesai sebelum Myungsoo dan Jiyeon bertemu. Dan melihat bagaimana susahnya pencarian yang Myungsoo lakukan selama hampir 2 tahun lamanya membuat Doojoon merasa geram.

 

Tinggal di apartemen ini membuatnya merindukan istana.

 

“Kau sama sekali tak tau sopan santun, Kim JongIn!”

 

JongIn tersentak ketika namanya disebut dengan begitu jelas oleh Doojoon. Ia seratus persen merasa heran, “Hyung tau namaku darima—“

 

“Kau pernah bilang dimanapun Jiyeon berada, ia pasti masih merasakan rasa sakit yang sama. Tapi—kenapa Jiyeon yang kutemukan justru terlihat baik-baik saja?”

 

Doojoon tersentak, dahinya berkerut seperti tengah memikirkan sesuatu.

“Sebelumnya aku tak pernah menghadapi misi semacam ini,” gumamnya terlihat tak yakin.

 

“Apakah kalian sudah berbicara dengannya?”

 

“Kami belum menemukan tempat tinggalnya.”

***

 

Summer 2015. Kim Coorperation, South Korea.

 

Musim panas masih berada di pertengahan bulan, begitu juga dengan matahari yang seolah tak kenal lelah memberikan sinarnya untuk menerangi bumi. Bahkan angin pun tak hendak kalah membawakan hawa panas ke setiap tempat yang dikunjunginya. Membuat seorang pemuda tampan berjalan pelan mengambil remote AC sambil menggerutu, peluh menuruni pelipisnya dan ia harus menurunkan suhu pendingin ruangan kantor-nya sekali lagi.

 

Kring Kring

 

Ia tersentak mendengar suara dering telepon yang berlagak seolah-olah memaksa untuk diangkat. Berefek, lelaki itu cepat-cepat meletakkan ganggang telepon di telinganya. Berkata ‘halo’ sebagai pembuka.

 

“Sajangnim, data-data Jacelyn Park sudah saya kirim ke email anda. Silahkan di cek.”

 

Kim Myungsoo mengangguk singkat. Setelah menggumam kata terimakasih untuk sekretarisnya yang sudah bekerja keras menyediliki Jacelyn Park, ia memutuskan sambungan dan mulai menghela napas.

 

“Jiyeon-ah, kenapa kau terlihat luar biasa baik-baik saja?”

***

 

The day after tomorrow.

 

Kim Myungsoo mengendarai mobilnya dengan kecepatan normal melintasi jalan raya Seoul yang padat kendaraan. Jantungnya berdegup kencang seiring dengan pikirannya yang melayang-layang. Beberapa foto Jiyeon yang ia temukan menunjukkan bahwa gadis itu terlihat dalam keadaan baik, tanpa sedikitpun beban dan penyakit.

 

Sinar mentari yang memantul dikaca mobil membuatnya silau, namun hal itu tak dapat mengalihkan perasaannya yang campur aduk setelah mendapatkan alamat tempat tinggal Jiyeon. Ia sungguh langsung meloncat ke dalam mobil selepas pekerjaannya selesai.

 

Dan sekarang, disinilah ia berada. Di depan sebuah flat sederhana yang dindingnya berwarna coklat muda. Dengan langkah yang menunjukkan sedikit keraguan, Myungsoo berjalan ke arah pintu dan mengetuknya beberapa kali.

 

Terdengar sahutan dari dalam, kelewat keras dan bersemangat untuk seorang Park Jiyeon yang Myungsoo bayangkan. Sampai ketika pintu hitam itu terbuka, tangan Myungsoo masih berkeringat di balik saku celananya.

 

“Nuguse—?”

 

Keduanya sama-sama membulatkan mata. Detik pertama manik mereka bertemu kembali setelah 5 tahun tak berjumpa—ekspresi yang sama pula yang mereka tunjukkan.

“K-Kim Myungsoo?” Myungsoo bahkan merasa sekitarnya kosong, pikirannya pun ikut kosong. Seolah ada yang segaja menyembunyikan semua itu supaya fokusnya tak teralih dari Jiyeon.

 

Perlahan Myungsoo melangkah sekali lagi, ia ingin melihat gadisnya lebih dekat. Memastikan bahwa ini benar-benar nyata; membuktikan jikalau Jiyeon memang sama sekali tak terlihat menahan sakit.

 

“Gwenchana?”

 

Setelah beribu kata yang berhamburan di kepala Myungsoo, kata ‘Gwenchana?’ adalah yang paling mendominasi sehingga ia mengeluarkannya sambil membawa gadis itu ke-pelukannya. Disaat itulah ia merasa paling bersalah, mendengar isakan tangis Jiyeon yang menggema ditelinganya.

 

“Nappeun.”

 

“Mianhae, Jiyeon-ah.”

***

 

Amour Café, South Korea.

 

Gadis itu duduk di salah satu kursi yang bersebelahan dengan etalase kaca. Mata coklatnya menyapu seluruh pemandangan jalanan luar yang ramai dan penuh sesak oleh orang-orang. Pernah sekali ia berpikir untuk menyerah. Namun mengingat masih begitu besar kemungkinannya untuk sembuh membuat semangatnya kembali pulih.

 

Apalagi sekarang keadaannya berbeda.

 

Ia sudah sama seperti lelaki bodoh yang ada dihadapannya sekarang.

 

Dan ia tau ia berhutang penjelasan kepadanya.

 

“—Aku melihatmu dibawa ke kamar mayat, Park Jiyeon.”

 

Gadis bersurai coklat itu tersentak. Terlalu lama menatap wajah Myungsoo membuatnya tak sadar sudah berpikir kelewat dalam. Kejadian-kejadian 5 tahun yang lalu terus berputar diotaknya tanpa bisa ia kontrol, membuatnya bingung harus memulai ceritanya dari mana.

 

“Bagaimana mungkin aku tak merasa heran saat mendapati dirimu yang biasa saja meskipun aku tau bukan kau yang meninggal dirumah sakit itu—“

 

“Aku punya cerita lengkapnya, Kim Myungsoo.”

 

Park Jiyeon masih terlihat sama seperti 5 tahun yang lalu; rambutnya masih berwarna coklat bergelombang; kulitnya masih seputih susu; dan wajahnya masih secantik dulu.

 

“Kalau begitu ceritakan padaku,” pinta Myungsoo seraya membenarkan posisi duduknya. Dua gelas Americano dingin sudah terhidang di hadapan mereka, ditemani sepiring snack khas musim panas.

 

Respon Jiyeon sama sekali diluar dugaan Myungsoo. Setelah sepuluh detik berlalu sia-sia karena Myungsoo sengaja memberikan gadis itu waktu untuk berpikir. Namun yang terjadi selanjutnya justru bukanlah sesuatu yang sesuai harapannya.

 

Gadis itu menggeleng, terlihat yakin meski Myungsoo melihat keraguan di matanya.

“Bagaimana kalau aku menolak?”

 

Jari-jemari Myungsoo merangkak di atas meja, perlahan-lahan hingga menggapai jemari Jiyeon dan membawanya dalam genggaman.

 

“Kau tak punya alasan untuk menolak. Kau tau bagaimana perasaanku saat mendatangi pemakamanmu?”

 

Jiyeon menunduk sejenak, helai-helain rambutnya yang terlepas dari ikatan saling menjuntai dari sisi wajah. Rasanya ingin menangis, mengingat kesakitan yang dulu ia rasakan seorang diri. Tanpa keluarganya, bahkan tanpa Myungsoo. Juga mengingat bagaimana ia hampir meregang nyawa di rumah sakit dengan hanya ditemani suara alat pendeteksi detak jantungnya, dan isakan tertahan yang tak didengar seorang pun.

 

Jiyeon menderita penyakit kanker otak. Dan harapannya untuk hidup sudah terlanjur habis sejak Myungsoo meninggalkannya di hari perpisahan itu.

 

“Jiyeon-ah,” Tangan Myungsoo terulur untuk mengangkat wajah Jiyeon yang tak kunjung mendongak. Sedikit terkejut melihat air mata menetes dari manik indahnya.

 

“Kau benar-benar ingin tau?”

 

Myungsoo mengangguk meskipun tak seyakin sebelumnya.

***

 

Summer 2010. Seoul Hospital, South Korea.

 

Hari ini mungkin akan menjadi hari terakhir Jiyeon melihat keadaan kamar rumah sakitnya; hari terakhir Jiyeon bisa membuka mata dan—hari terakhir Jiyeon merasakan sakit seperti ini. Dengan tangan memegang kepala, gadis itu berteriak seraya air mata mengalir deras di pipinya. Ia benar-benar berpikir akan mati saat itu juga. Menghilang dari dunia untuk selamanya tanpa seorang pun yang ada disampingnya.

 

Hidup seorang Park Jiyeon tak pernah sebaik yang terlihat. Ia adalah anak tunggal dari sebuah keluarga yang lumayan terpandang. Ayahnya pengusaha terkenal, setiap hari sibuk bekerja hingga tak punya waktu untuk dirinya. Begitupun dengan Ibunya yang terkadang ikut turut serta membantu pekerjaan sang Ayah. Bahkan setelah kedua orangtua nya mengetahui penyakit yang Jiyeon derita, keluarga kecil itu semakin jarang bercengkrama.

 

Jiyeon benar-benar merasa tertekan, namun saat itu ia masih punya Myungsoo—seorang lelaki berambut hitam pekat yang matanya selalu memancarkan pandangan tajam kepada siapapun, teman Jiyeon sejak berumur 10 tahun.

 

Oleh karena itu, pada malam hari dimana Jiyeon mengetahui Myungsoo akan pergi, kondisi kesehatannya menurun drastis. Ia pingsan di depan pintu kamarnya dan berakhir menerima perawatan di rumah sakit.

Dan disinilah Jiyeon berada sekarang. Dua bulan masa pengobatannya tak memberikan efek apa-apa. Ia sudah memutuskan semua asa; telah menyerahkan seluruh semangatnya.

 

Hal paling akhir yang Jiyeon lihat adalah pemandangan samar beberapa dokter dan suster yang tergesa-gesa mendatangi ranjangnya. Hingga semua menjadi gelap dalam sesaat. Detik itu juga Jiyeon merasa tubuhnya begitu ringan sampai ingin melayang terbawa angin.

***

 

“Park Jiyeon.”

 

Suara itu terdengar mengalir tanpa beban. Menelusup ke celah paling kecil dari pintu ruang rawat inap Jiyeon, berputar dibawa udara yang berhembus kedalamnya, dan berhenti menggema di telinga sesosok tubuh yang terbaring tertutup kain putih.

 

Aneh, Park Jiyeon bisa mendengar suara itu. Meski tak tau dari mana asalnya.

 

“Park Jiyeon, jangan pura-pura tidak dengar. Cepat buka kain putih mengerikan itu,” Sekali lagi Jiyeon tersentak, matanya perlahan terbuka lebar-lebar. Otaknya sama sekali belum dapat mencerna apa yang barusan terjadi padanya. Namun seperti sebuah perintah yang tak terbantahkan, ia menarik kain putih yang semula menutupi kepalanya.

 

Dan hal pertama yang ia lihat setelah meraskan jantungnya tak berdetak lagi adalah sesosok tubuh berbalut jubah hitam yang menjulang tinggi di samping ranjangnya.

 

“Kenapa menatapku seperti itu? Kau menyesal tidak jadi mati?”

 

Tersadar dari lamunannya, gadis berwajah pucat itu menggeleng. Entah keberanian dari mana yang ia dapatkan untuk melakukan hal itu.

 

“Kalau begitu, kau pasti ingin sembuh dari penyakitmu, kan?”

Sekali lagi, gerakan tubuhnya seperti tak dapat ia kontrol. Karena ia justru mengangguk dan bukannya berteriak ia harus mati sekarang juga.

 

“Ikutlah denganku; menuju masa dimana kau bisa disembuhkan sepenuhnya.”

 

“Tu—tunggu.”

 

Lelaki berwajah tegas itu mengerutkan kening. Mendengar perkataan Jiyeon membuatnya heran. Sementara Jiyeon justru merasa takjub dapat mendengar suara nya sendiri.

 

“Kenapa kau—menyelamatkanku?”

 

“Kau belum tau? Kau adalah penjelajah waktu, Park Jiyeon. Kau tak bisa menghilang dengan cara seperti ini. Tugasmu masih banyak, yang bahkan belum sedikitpun kau sentuh.”

Katakanlah Jiyeon tak sepenuhnya mengerti apa yang diucapkan lelaki itu. Pikirannya masih belum siap menerima semua hal tak masuk akal yang berlangsung terlalu cepat hari ini.

 

“Lalu, siapa kau sebenarnya?”

 

“Aku Yoon Doojoon. Seniormu.”

***

 

Summer 2015. Amour Café, South Korea.

 

“Yoon Doojoon? Apa kau yakin?”

 

Jiyeon mengerutkan keningnya merasa heran atas respon Myungsoo. Ia sudah susah payah menceritakan kenangan menyakitkan itu—yang bahkan sampai sekarang ia masih bisa merasakan sakitnya walau sedikit.

 

Penyakit kanker otaknya sudah sembuh, seluruhnya. Pengobatan yang Jiyeon jalani memang terbilang cepat. Dan untuk pertama kalinya ia memasuki portal untuk melintasi waktu menuju masa dan dimensi dimana ia dapat disembuhkan dengan waktu yang singkat.

 

Kalau soal orang tuanya, Jiyeon hanya bisa memastikan bahwa bisnis keluarganya masih berjalan lancar hingga saat ini. Dan orangtuanya terlihat baik-baik saja meskipun ayahnya mengetahui bahwa yang dibawa ke kamar mayat 5 tahun yang lalu bukanlah dirinya. Dokter yang menangani Jiyeon yang memberikan informasi tersebut kepada sang Ayah. Hal itu dilakukan karena pihak rumah sakit merasa heran dengan hilangnya tubuh Jiyeon tanpa jejak setelah ditinggalkan selama 2 jam—menunggu sanak saudaranya berkumpul.

 

Namun, Jiyeon tak pernah bisa kembali kerumahnya lagi. Ia memutuskan untuk hidup sendiri sambil menjalankan beberapa misi kecil sebagai penjelajah waktu.

“Ne, waeyo?”

 

“Yoon Doojoon adalah orang yang aku temui di pemakaman-mu, Jiyeon-ah.”

 

“Ne, Majayo.” Tiba-tiba sebuah suara menyahut pembicaraan mereka. Membuat keduanya sama-sama tersentak dan menoleh kaget. Yoon Doojoon sang senior sudah berada disamping meja sambil mengulas sebuah senyuman lebar. Hampir-hampir Myungsoo terjatuh dari kursinya dengan kemunculan Doojoon yang kelewat tak dapat ditebak.

 

“Apa maksumu, Senior Yoon?”

 

Lelaki itu mengambil sebuah kursi dan duduk dihadapan Myungsoo dan Jiyeon seraya menghela napas. Ia harus menjelaskan semuanya dari awal. Tapi ia tak punya cukup waktu untuk itu.

 

“Aku sengaja melakukan ini. Supaya kalian bisa bertemu dengan usaha masing-masing. Meskipun aku sedikit kecewa dengan anak Chaebol satu ini,” tunjuk Doojoon tepat ke arah Myungsoo yang langsung terkesiap.

 

“Dia menyuruh Sekretarisnya yang mencari keberadaanmu, Jiyeon-ah,” Myungsoo dan Jiyeon saling berpandangan sejenak. Kemudian suara berat Doojoon kembali menarik atensi mereka.

 

“Kalian adalah penjelajah waktu. Penerusku yang akan menyelesaikan beberapa misi tertunda. Dan pertemuan kalian disini adalah tes awal yang sengaja aku siapkan.”

 

“Tapi, bolehkah aku tau kenapa kami terpilih menjadi penjelajah waktu?”

 

Doojoon memutar bola matanya, terlihat kesal. “Yaa, anak muda. Kau pikir ayahmu yang berkuasa itu bukan seorang penjelajah waktu? Dia bahkan berguru padaku!”

 

“Mwo?”

 

“Hah, sudahlah. Aku malas menjelaskannya secara detail. Intinya, kalian akan menerima tugas pertama sebagai partner besok pagi. Temui aku ditempat pertama kali aku muncul dihadapanmu, Myungsoo. Dan jangan lupa ajak dua teman idiotmu itu.”

 

Doojoon beranjak dari kursinya. Enteng sekali meninggalkan beribu tanda tanya di benak kedua juniornya dengan seulas senyum misterius. Bahkan ia mengabaikan rasa sakit di pinggangnya yang terdengar bergemeretak, dan belum lagi tongkat hitam yang sebelumnya tak pernah ia bawa.

 

Ia tak bisa berlama-lama berada di masa ini. Hidupnya bisa hancur berkeping-keping jika ketahanan tubuhnya menghilang dengan cepat. Karena ia berasal dari jaman Jeoson, yang mana seharusnya ia sudah sangat tua atau bahkan meninggal di waktu ini.

 

“Senior Yoon, sejak kapan kau memakai tongkat?”

 

Suara panik Jiyeon membuat Doojoon menghentikan langkah. Ia berbalik dengan ekspresi datar.

 

“Kau akan mengetahuinya besok. Dan—oh! Aku melupakan satu hal.”

 

“Mwoga?” tanya Myungsoo meski suaranya tak sekeras tadi. Melihat punggung Doojoon yang mulai membungkuk membuatnya merasa harus lebih ber-sopan santun.

 

“Kalian tau apa tugas penjelajah waktu yang sebenarnya?”

***

 

Kita disini; bukan untuk mengubah masa lalu, namun untuk menggantikan masa depan.

END

 

Haii, kali ini aku membawa FF yang hampir setahun yang lalu aku buat untuk mengikuti lomba Fanfiction di Indo Fanfiction dan alhamdulillah, berhasil dapet juara I ^^

 

So, read this and dont forget to leave your comments ^0^

Satu respons untuk “In Time

  1. Hai jeska! Maaf baru bisa mampir hihi. Langsung komen aja ya ff nyaa. Hmm plot, diksi sma deskripsinya apik banget gak salah deh dapet juara I. You deserve it!! Kalo trus di asah pasti bahasanya bakal tambah alus deh, so keep writing okaaay ❤

    Suka

Tinggalkan komentar