Author : Jeska
Title : Love in Winter
Cast : T-ara’s Park Jiyeon & Infinite’s L
Genre : School life, Fluff, Romance, Slice of life
Rating : PG-15
Length : Oneshot
Disclaimer : The Casts are not mine, but the plot is mine. Please don’t be a Plagiator and Re-Post this fanfict without my permission. And Happy Reading good readers!
© Jeska Presented (29-12-2015)
Hal terindah dalam hidup itu, apa?
Maksudku, hal apa yang membuatmu menganggap suatu kejadian tampak indah hingga kau menyimpannya di memorimu yang terdalam dan berharap tak akan pernah terlupakan?
Kurasa hidupku kelewat datar untuk memilih beberapa momen yang berkesan agar dapat kutaruh di tempat itu.
Entah, apakah kenanganku telah terkubur oleh benda-benda tidak penting, atau memang hal terindah semacam itu tak pernah hadir menyapa hariku.
.
.
.
.
.
Story begin
***
Apa yang pertama kali kau pikirkan? Ketika melihat seorang siswi SMA tingkat akhir yang berjalan angkuh disepanjang koridor sekolah. Menaikkan dagu dan melempar tatapan tajam tak peduli pada siapapun yang melewatinya.Wajahnya memang terlihat menawan, tapi sikapnya yang serba berlebihan dengan menganggap diri paling hebat itu seolah meraup habis semua kecantikannya.
Ngomong-ngomong, dia tampak tak punya teman. Tak seorangpun terlihat ingin menyapanya, tak seorangpun tampak tersenyum tatkala menatapnya.
‘Karma orang sombong.’
Sudah lama ia sadari hal itu, kelewat lama malah. Sejak pertama kali hingga hari ini, menit ini dan detik ini. Namun siapa peduli? Toh mereka juga punya masing-masing hal yang perlu dibanggakan. Jadi, memilih untuk menjadi sombong tak ada salahnya. Sama sekali tidak.
Apalagi gadis itu adalah aku.
***
Semua hal berjalan seperti biasanya.
Matahari terbit di pagi hari, burung-burung bernyanyi bersama koloni, dan semut-semut terjaga lebih pagi untuk bergotong royong mencari nutrisi.
Tak ada yang istimewa, tak ada sesuatu yang menimbulkan sedikit saja keterkejutan di wajahku kala melihat awan yang mulai kelabu karena musim dingin akan segera tiba, atau saat menatap gerbang sekolah, pun ketika berjalan melewati orang-orang.
Benar-benar biasa. Membosankan.
Hidupku sudah cukup membosankan dengan menerima tatapan tak suka dan cemoohan setiap hari, ditambah lagi dengan sekolah membosankan yang memaksaku untuk tetap datang disaat aku sama sekali tak ingin bangkit dari tempat tidur. Aku kadang berpikir, apa lagi yang bisa sangat membuat bosan selain ini? Kurasa tak ada.
Lagipula selama si cupu Do Kyungsoo masih memenuhi tangannya dengan buku-buku tebal dari perpustakaan, atau si wanita kurang kerjaan Son Naeun yang tetap setia menempeli Lee Taemin seperti semut mengerubungi gula, atau juga si tiang Park Chanyeol yang—entah kenapa semakin hobi menggelantung di ring basket lapangan outdoor; aku pun yakin hari-hariku tak akan berubah menjadi lebih menarik.
Kecuali… ya kecuali—Kyungsoo tiba-tiba muntah dihadapan buku-buku kesayangannya; Naeun berhenti mengikuti Taemin dan mencari incaran lain; dan Chanyeol keluar dari klub basket sekolah untuk masuk ke ekskul tata boga.
Tapi itu semua tak mungkin terjadi.
Sungguh-sungguh tak mungkin.
***
Saat jam istirahat di hari Senin yang terasa lebih panjang dari hari-hari biasanya, aku melangkahkan kaki dengan berat menuju kantin. Penyakit malas gerak-ku kambuh lagi, meski perut ku tak tau malu minta diisi; keroncongan dan berbunyi-bunyi.
Aku mengambil makanan dan mengambil tempat. Tak ada yang lebih baik selain duduk sendirian di pojok sebelah kanan. Meja favoritku, dimana tak seorang pun datang untuk mengisi kecuali diriku sendiri.
Biarlah.
Aku juga tak ingin sekelompok gadis-gadis tukang rumpi itu memenuhi tempat makanku dengan beribu kalimat tak penting yang mereka lontarkan dengan gaya berlebihan. Dan lebih tak ingin lagi seorang lelaki di sudut sana dan di depan sana duduk berhadapan denganku, karena kami pasti akan dilingkupi oleh aura-aura seram berwarna hitam ke-ungu-an.
Hih, aku tak mau.
Meskipun sendiri, aku menikmati setiap detik yang kulalui.
Percayalah. Aku tak bohong ketika mengucapkannya. Aku juga tak—
“Ji eun-ah!”
Tidak. Itu bukan namaku. Bukan aku yang dipanggil tetapi aku yang bergerak memutar kepala. Spontan saja, karena aku mengenal sang pemilik nama. Setidaknya dulu, pernah berteman dengan dia.
Kudapati wajah cemberutnya—bibir mengerucut dengan kening berlipat dalam—sambil berjalan kesal menjauhi seseorang yang mengejarnya. Aku alihkan pandangan, dan Jang Wooyoung si pacar sedang menghembuskan napas lelah seraya tetap melangkah. Kelihatan sekali mereka sedang bertengkar; sesuatu yang biasa hadir di kehidupan berpacaran.
Ya, yang dulu juga pernah kurasakan.
**
Kim Myungsoo mungkin adalah lelaki paling brengsek sedunia. Benar-benar menjengkelkan melebihi jenis manusia manapun yang pernah kutemui. Bahkan dua kali lipat lebih menyebalkan daripada si gadis sok cantik Irene Bae, pun dibandingkan dengan si tengil tukang jail Kim JongIn. Dan terlebih-lebih lagi, aku tak akan bisa membencinya karena dia—
“Sayang,”
—Pacarku.
“Mwo?” ucapku ketus seraya melipat tangan di depan dada. Ku hadapkan punggungku padanya yang tampak lelah menyusul langkah. Aku tak peduli. Dia sungguh sudah keterlaluan hingga membuatku ingin menendangnya ke belahan dunia utara agar tak pernah muncul lagi. Atau menjambak rambutnya sampai rontok dan botak supaya ia malu pergil kesekolah dan memutuskan untuk berhenti. Atau juga—
“Aku hanya bercanda, Jiyeon-ah.”
Aku tetap mengunci mulut, meski beribu kata-kata kutukan sudah mendesak ingin keluar. Kalau bisa ku muntahkan ke wajahnya yang tampan.
“Jangan sensitif begitu, dasar bocah.” Ucapnya lagi sambil meraih tanganku dan membenturkan kepalaku ke dadanya.
Idiot, ini sekolah; dan dia memelukku di tengah ruang olahraga yang dipenuhi orang.
***
Aku tersadar saat seseorang yang entah siapa namanya menyenggol kaki mejaku hingga menimbulkan suara yang cukup besar. Kulihat orang itu mengerang kesakitan sambil terus berjalan terseok-seok.
Sesangi, lagi-lagi aku melamun tanpa sadar.
Melamunkan si brengsek yang kehadirannya—sampai saat ini masih terus ku sesali. Masa-masa sekolah menengah pertama yang kulewati tampaknya begitu suram dengan eksistensi dirinya. Lagipula manusia mana yang mau-mau saja berpacaran di usia se-bocah itu?
Aku malu mengakuinya sekarang.
Ku tutupi wajah dengan kedua telapak tangan sambil menggeleng-gelengkan kepala. Enyahlah dari pikiranku yang suci, Kim Myungsoo. Kau membuat otakku tercemar dengan segala macam tingkah lakumu yang sialnya tak pernah bisa kulupakan. Seolah melekat erat di dalam sana hingga aku tak tau harus menghapusnya dengan apa.
***
Bel pulang sekolah telah berbunyi nyaring; hampir-hampir membuatku mengumpat mendengar suaranya. Terkejut sekali, karena ketika itu aku hampir meletakkan kepala di atas meja, menahan kantuk di pelajaran Sejarah memang tak pernah menimbulkan hasil.
Persetan dengan nilai merahku.
Setelah mengucapkan salam ‘terimakasih’ kepada Lee Seonsangnim, aku segera memasukkan buku dan alat tulisku kedalam tas, kemudian berlalu keluar kelas tanpa menyapa atau menoleh pada siapapun.
Sudah biasa.
Lagipula sebentar lagi pasti akan ada yang—
“Ayo pulang bersamaku, Jiyeon-ah!”
—aku tersenyum miring, diam-diam. Ku eratkan peganganku pada tali tas sambil terus melangkahkan kaki. Lelaki itu kini berjalan disampingku. Aku tak perlu memutar kepala untuk mengetahui siapa dia.
“Ayolah, sekali saja. Kau selalu menolakku.”
Dengan gaya angkuh seperti biasa, aku menggeleng. Kulirik ia dengan sudut mata, tampak ekspresi kesal diwajahnya. Biarkan saja, memiliki banyak penggemar memang terasa menyenangkan. Dan lagi, artis mana yang ingin pulang bersama fans-nya? Kurasa tak ada.
“Baro-ya, lain kali saja, oke?”
Aku menepuk bahunya dan melewati lelaki itu untuk menuju ke parkiran mobilku. Meski para wanita mencemooh diriku, para pria tetap menyukaiku karena aku punya wajah yang cantik dan badan yang bagus. Aku tak perlu pengakuan siapapun selama orang-orang semacam Baro masih berada di pihakku.
Sombong bukan keahlianku.
Hal itu sudah melekat pada diriku sejak aku ditakdirkan untuk menjadi seorang Park Jiyeon.
***
Saat mengendarai mobil menuju rumah, aku mengumpat tiga kali karena terjebak macet panjang. Badanku sudah lengket dan ingin segera merasakan rendaman air panas. Rambutku pun sudah lembek karena terlalu banyak diterpa udara dingin. Aku ingin secepatnya sampai, dan melompat ke dalam bath up.
Namun macet sialan ini mengulur waktuku lebih panjang dari yang bisa ku toleransi.
Selama hampir satu jam, aku terus-menerus memukul stir mobil dengan kesal. Tatapan mataku tajam dan menusuk. Aku benci keadaan ini. Aku benci menunggu, aku benci kehilangan jam-jam istirahatku.
“Sudah hampir jam 5,” gumamku seraya menghela napas lelah. Menyenderkan punggung pada sandaran kursi mobil. Tanganku berhenti menggenggam stir, dan beralih mengusap wajah. Ku edarkan pandangan ke seluruh penjuru. Sejauh yang dapat ku jangkau dari kaca mobil.
Di seberang sana, aku lihat sebuat taman yang luas dipenuhi pohon-pohon, dilapisi rumput, dan dihiasi bunga; yang semuanya tampak berayun mengikuti arah angin. Mereka pasti mulai merasa kedinginan, sama seperti aku dan orang-orang yang mulai memakai jaket untuk bepergian.
Musim dingin hampir tiba; musim dingin ke-4 yang kulalui setelah hari itu.
**
Kim Myungsoo mengajakku mampir ke taman seusai sekolah. Kami berjalan kaki sambil bergandengan tangan. Sesekali berbicara dan tertawa. Aku senang, tentu saja. Lelaki ini cinta pertamaku yang tak akan mungkin bisa ku lupakan.
Saat sampai, ia menarik tanganku menuju salah satu bangku taman yang tampak baru selesai di cat, berwarna kuning keemasan. Aku duduk disebelahnya dengan malu-malu. Bulu mantel coklatku bergoyang-goyang terhembus angin. Rambut sebahu ku pun terayun-ayun dengan pelan, membuatku harus menyelipkannya ke belakang telinga berkali-kali.
Masih menunduk, ku lihat Myungsoo menatapku dengan wajahnya yang terlihat aneh. Belum pernah kudapati ekspresi mukanya yang seperti itu. Membuat aku bertanya-tanya, apa yang sedang ia pikirkan dengan kening yang berkerut dan mata yang bergerak liar itu?
Detik-detik berlalu tanpa suara; hanya terdengar gemerisik ranting dedaunan yang saling beradu, serta hembus-hembus napas kami berdua yang nyaris membuat gumpalan asap dingin keluar dari mulut. Aku tak terbiasa dalam situasi hening seperti ini, aku tipe orang yang banyak bicara di depan siapapun. Jadi aku memberanikan diri untuk memulai percakapan. Karena tampaknya Myungsoo akan terus bungkam.
“Ada apa mengajakku kesini?”
“Eh?” Ia benar-benar tersentak. Kuanggap saja ia begitu karena suaraku terlalu merdu.
“Hm—aku—aku ingin—“ dengan tangan gemetar, ia merogoh kantung celananya. Mungkin cuaca dingin membuatnya menggigil. Atau mungkin aku yang membuatnya gugup.
Aku mengikuti pergerakannya, mengamati dengan saksama; benda berbentuk segi empat berada dalam genggamannya. Dua tangan ia kerahkan untuk menjulurkan benda itu ke depan wajahku. Membuatku terkejut.
“Ini—hadiah untukku?” ucapku dengan mata membulat.
Myungsoo mengangguk, kemudian membuka kotak itu dan memperlihatkan sebuah kalung berliontin bunga yang tampak berkilau dimataku. Indah sekali sampai aku mengira tengah mendapat lamaran pernikahan seperti yang sering kulihat di televisi.
Bedanya, aku tak tau Myungsoo mendapatkan kalung itu darimana. Apakah ia mencuri punya ibunya, atau menemukannya dijalan, atau membeli sendiri dengan uang hasil jerih payahnya.
Tapi aku tak memikirkan hal itu lebih lanjut, karena detik berikutnya aku merasakan Myungsoo memasangkan kalung indahnya ke leherku.
***
Aku tersentak ketika bunyi klakson saling bersahutan terdengar dari arah belakang. Kembali ke alam nyata, aku sadar telah melamun lagi. Bahkan sekarang lebih parah karena aku menghalangi jalannya orang-orang yang hendak segera pergi.
Segera kujalankan mobil dengan sedikit ngebut. Berbelok ke kanan untuk mengambil jalan pintas menuju rumah. Kulewati taman itu dengan cepat, hanya sempat kulirik dengan ujung mata.
Jam 17.15 tertera ketika aku melirik dashboard. Kugelengkan kepala beberapa kali. Bisa-bisanya kenangan itu muncul disaat yang sangat-sangat tidak tepat.
Memalukan.
Dan memuakkan.
Kim Myungsoo sialan.
***
Next day
Kim Myungsoo sialan.
Kenapa dia kembali? Maksudku, kenapa aku harus bertemu dengannya lagi? Tidak, maksudku, kenapa aku… tak bisa bersikap biasa saja saat berpapasan dengannya di koridor sekolah pagi ini?
Aku tengah berjalan sambil menaikkan dagu seperti biasa. Biasa dan biasa. Kuanggap semuanya tampak biasa seperti biasa.
Namun kala ku injakkan kaki di anak tangga terakhir lantai 2 dan mengambil jalan berbelok ke kiri untuk menuju kelasku yang suram, kutemukan lelaki itu berjalan berlawanan arah denganku bersama Park Chanyeol dan Choi Minho. Membuatku nyaris memuntahkan permen karet strawberry yang sedang ku-kunyah beserta semua makanan yang mengisi perutku saat sarapan.
Tapi aku tak mungkin melakukannya ditengah-tengah gerombolan manusia tak penting yang mengekori si brengsek seperti lalat mengerubungi bangkai. Hanya tatapan terkejut dan tak percaya yang tertera di wajahku. Mungkin terlihat bodoh, tapi aku tak peduli. Karena aku yakin dia juga tak akan melihatku.
Dan yang terus berputar mengelilingi kepalaku saat ini adalah, alasan kenapa dia bisa berada disini padahal seharusnya ia masih tinggal di Amerika; bersenang-senang dengan wanita tak tau malu yang beruntung menjadi pilihannya, beruntung bisa berada didekatnya selama hampir 4 tahun, dan sangat-sangat beruntung karena dapat mengalahkanku.
Ya walaupun, aku tau ia pergi karena suruhan orang tuanya, dan untuk melanjutkan sekolah. Tapi tetap saja, Krystal Jung tak boleh ikut dengannya.
“Park Jiyeon!”
Aku sampai di kelas dalam keadaan selamat meski nyaris kehabisan napas. Kutolehkan kepala mengikuti asal suara, seseorang memanggilku dengan berteriak. Suaranya cempreng; sama sekali tak enak didengar.
Untung aku masih berada dalam batas kesabaran, meski nyaris sampai ke ambang.
“Oh Suzy, wae?”
“Kau sudah tau?” balasnya yang membuat keningku berkerut, “Kim Myungsoo kembali.”
Kim Myungsoo sialan telah kembali. Tentu saja aku tau.
***
Meskipun aku benci Kim Myungsoo, tapi aku jauh lebih benci disuruh mengambil buku latihan teman-teman sekelas ke ruang guru yang berada di lantai 3.
Tsk.
Ini semua karena aku melamun di tengah jam pelajaran Shin Seonsangnim. Ia meneriaki namaku kelewat keras hingga nyaris menggetarkan kaca jendela. Dan memberiku hukuman ini. Menyebalkan sekali. Tak tahukah dia bahwa kemarin sore aku terpeleset di toilet sampai kakiku sakit dan moodku sedang turun drastis?
Oh, tentu saja tak tau.
Sampai ke lantai 3, aku berjalan sambil melihat kanan-kiri. Bukan hendak menyeberang, hanya untuk mencuci mata. Mana tau saja aku dapat mengintip Kris Wu si cassanova sekolah sedang melepas kancing baju atasnya, atau mendapati Kwon Jiyong Seonsangnim tengah mengajar dengan gaya rambut dan pakaiannya yang khas dan menawan. Mungkin bisa menaikkan mood ku walau sedikit.
Namun semua hanya tinggal harapan ketika aku tiba di ruang guru. Mengetuk pintu tanpa mendapat jawaban dan langsung berjalan menuju meja Shin Seonsangnim yang keliatan diliputi aura tak bersahabat. Cepat-cepat aku mengambil buku yang berada di atas mejanya, lalu berbalik lagi untuk kembali.
Detik itu juga, mataku menangkap sosok Kim Myungsoo yang berdiri dengan memasukkan dua tangan ke dalam kantung celana. Menatap lurus ke arahku tanpa ekspresi.
Aku mematung.
***
“Park Jiyeon!”
Aku terus berjalan tanpa memperdulikan panggilannya. Buku-buku yang kupegang sudah terlalu berat untuk dapat ditambahkan dengan rasa sakit hati yang dengan tak tau malunya kembali hadir tanpa permisi.
Jangan sampai aku menangis disini, Tuhan.
“Ya Park Jiyeon!” Aku menggeleng-gelengkan kepala seraya mempercepat langkah. Jangan sampai Kim Myungsoo si sialan dapat menyusulku. Jangan sampai. Pokoknya jangan sampai—
—Dan ia berhasil meraih tanganku.
“Kenapa sombong sekali?”
Ia membalikkan badanku hingga kini posisi kami berhadap-hadapan. Aku menahan napas melihat wajahnya. Cepat-cepat aku berkata dengan hampir seperti berteriak, “Aku rasa aku tak punya urusan denganmu. Jadi jangan panggil aku lagi.”
Lalu tanpa menoleh lagi, aku segera melanjutkan langkah. Demi Tuhan, aku bisa mati jika terus-menerus berada didekatnya. Jantungku bisa meledak, isi perutku bisa keluar semua, dan—dan tubuhku bisa kehilangan kendali.
Aku tak bisa, pun belum siap; untuk bertemu dengan Kim Myungsoo lagi setelah apa yang terjadi diantara kami.
“Tidak punya urusan apanya?” Aku terkejut ketika mendapati ia masih mengikutiku. Kulirik kebelakang, lelaki itu tersenyum miring sambil menaikkan sebelah alisnya. Kupaksakan kakiku yang sakit untuk berlari. Tak peduli tulangku bergemeretak, aku tetap tak ingin ia menggapaiku lagi.
Saat tiba didepan tangga menuju lantai bawah, aku nyaris tak bisa mengerem lariku hingga semua buku yang kubawa beterbangan kemana-mana.
Double shit.
Rasanya air mataku benar-benar ingin keluar.
Aku berdiri dengan benar seraya mengatur napas. Kubersihkan beberapa debu yang menempel di bagian belakang rok seragamku. Setelahnya barulah aku punguti satu-satu buku yang berserakan itu.
Ini semua gara-gara Kim Myungsoo. Aku benci dia.
“Siapa suruh lari-lari.”
Mendengar suaranya membuatku melotot geram. Ia malah balas mengibaskan tangan. Seolah-olah aku telah melakukan hal bodoh dan membuatnya malu. Aku langsung mengalihkan pandangan, kembali mengambil buku-buku.
Tak kusangka Myungsoo pun membantu. Ia berjongkok disampingku; melakukan hal yang sama. Aku hanya diam, tak memprotes. Biarlah dia membantuku untuk saat ini, supaya aku bisa cepat pergi dan kembali ke kelas. Namun sampai pada detik dimana ada satu buku yang tersisa, dan aku berniat mengambilnya, begitupun dengan Myungsoo.
Tangan kami bersentuhan tanpa sengaja.
Apakah aku sedang bermain drama?
***
Hari ini udara terasa lebih dingin dari sebelumnya. Butiran salju pun mulai tampak turun dari langit yang semakin kelabu. Musim dingin sudah sepenuhnya datang.
Aku merapatkan kembali mantel hitam kesayanganku sambil terus meniti langkah menuju kelas. Ku abaikan grasak-grusuk dan bisik-bisik yang mengiringiku sejak tadi.
Orang famous seperti diriku memang selalu mencuri perhatian.
Aku tahu itu. Jadi tak perlu memusingkan apa yang sedang mereka bicarakan dibelakangku. Dengan sedikit tertatih, aku menaiki anak tangga perlahan-lahan. Memar di pergelangan kakiku karena terjatuh kemarin masih belum hilang, dan masih terasa sakit. Padahal aku sudah mengolesinya dengan salep pemberian Halmeoni.
Ck. Ini sangat mengganggu. Aku harus berpegangan pada lengan tangga untuk dapat berdiri tegak dan berjalan pelan. Salah langkah sedikit saja aku bisa kembali terjatuh. Dan rasanya pasti tiga kali lipat lebih sakit. Bahkan aku sudah meringis beberapa kali karna kesakitan.
“Jiyeon-ah!”
Kala kembali mencoba mengangkat kaki untuk menaiki anak tangga kelima, aku mendengar namaku dipanggil dari arah belakang. Dengan suara si pemanggil yang tak pernah terasa asing di telingaku. Membuatku terkejut hingga refleks membalikkan badan dengan kelewat cepat. Tak sadar keseimbanganku pun hilang hingga nyaris membentur lantai.
“Ya!”
Tapi Kim Myungsoo menangkapku.
Dalam sekejap ia sudah berhasil memeluk tubuhku dengan kedua tangannya yang kekar. Meski aku menutup mata, aku tak pernah salah mengenali bau parfumnya—yang aku sukai dari dulu. Napasnya menerpa wajahku, terasa sangat dekat. Dan aku sadar aku tak ingin cepat-cepat membuka mata.
“Gwenchana?”
Suaranya yang terdengar cemas sekali lagi menyapa gendang telingaku. Tapi aku masih diam tanpa memberikan respon apapun. Entah kenapa hanya tak ingin ketika aku bilang aku baik-baik saja, ia akan melepaskanku kemudian pergi.
Kim Myungsoo memang brengsek.
“Jiyeon-ah, gwenchana?”
Aku merasakan tangannya mengelus pipiku yang dingin seolah beku; dan ia bawakan kehangatan yang mengalir kedalam tubuhku secara perlahan.
“Hm,” aku mengangguk seraya membuka mata. Mendapati raut wajahnya yang tampak lega, dekat—dekat sekali dari jangkauan ku. Aku pun baru menyadari seberapa besar rasa rinduku padanya selama ini. Seakan-akan bersarang di dasar hatiku; menumpuk disana; bertambah setiap harinya. Tapi tak pernah ku coba ungkapkan, tak pernah sekalipun aku hiraukan kendati dia sudah lama pergi dan tak pernah kusangka akan kembali.
“Berhati-hatilah, Ji.” Katanya setelah beberapa detik berlalu, sambil menepuk-nepuk kepala ku dengan ekspresi menyebalkan. Sebelah tangannya masih dipinggangku, posisi kami pun masih seperti tadi. Tampaknya ia tak peduli dengan haksaeng yang lewat dan melemparkan tatapan aneh sambil bergumam tidak jelas.
“Arraseo,” jawabku kemudian memalingkan wajah. Pembuluh darah ku bisa pecah kalau darah ku terus-terusan berdesir seperti ini, perutku pun bisa meledak jika terlalu banyak kupu-kupu yang beterbangan didalamnya.
“Jadi, kau tidak bisa berjalan?”
Aku menggeleng, “Tidak jug— YA! Apa yang kau lakukan?!“
“Menggendongmu.” Dalam sekejap saja, aku sudah berada di gendongannya. Mataku melotot saat melihatnya tersenyum miring.
Kim Myungsoo yang dulu sudah kembali. Dua kali lipat lebih menyebalkan.
***
Mungkin Kim Myungsoo sudah gila karena mengekoriku terus-menerus. Mungkin ia harus dimasukkan ke rumah sakit jiwa karena tak pernah mau berhenti berjalan dibelakangku sejak kemarin. Meski para fansnya—yang entah darimana ia dapatkan—sudah bertanya berulang kali kepadanya tentang aku; siapa aku; siapa aku baginya; siapa aku hingga ia mengikutiku seperti ini.
Rasa risihku sudah nyaris hilang, aku tak lagi memikirkan ocehan orang lain. Namun aku hanya tak ingin perlakuannya membuatku kembali terbiasa dengan adanya dia. Dengan eksistensinya yang selalu didekatku. Ditambah lagi dengan pertolongan-pertolongannya kepadaku. Dan aku tak bisa membiarkan diriku merasakan kenyamanan itu lagi.
Ini benar-benar menyiksa.
Hingga tanpa sadar aku meneteskan air mata.
Untungnya aku tengah berada di taman sekolah dengan beberapa orang yang sibuk bercengkrama.
Ck. Kenapa aku jadi lemah begini?
“Ya, kenapa kau menangis?”
Aku menatapnya kesal, dengan mataku yang sudah berair. Ingin rasanya aku berteriak; menumpahkan segala hal yang memenuhi relung hati dan pikiranku. Kalau bisa tak menyisakan satupun agar kelegaan dapat kunikmati ketika berhadapan dengannya.
“Kim Myungsoo brengsek, pergilah dari hi—“
“Neo jinjja,” tiba-tiba dia memelukku. Membuatku menelan kembali kata-kata yang hendak keluar. Tubuhku menegang dan jantungku berdegup kencang.
“Dari dulu hingga sekarang, kau bahkan tak memberiku kesempatan untuk menjelaskan, Jiyeon-ah. Aku pergi bukan karena ingin berada jauh darimu. Bukan juga karena ingin berdekatan dengan Krystal. Berhentilah berpikiran seperti itu. Aku dan Krystal hanya kebetulan bersama-sama pindah ke Amerika.”
Myungsoo berhenti bicara, menghela napas dengan berat. Kemudian mengelus rambutku seperti yang sering dilakukannya dulu. Sementara aku masih terdiam tanpa suara.
“Kau tau aku pergi untuk belajar, kan? Dan sekarang aku sudah kembali, karena dirimu. Aku memikirkanmu setiap hari, bahkan membuat perjanjian dengan orang tuaku agar aku bisa melanjutkan sekolah di Korea lagi. Kalau kau terus menghindariku seperti ini, aku akan per—“
“A-andwe…” aku paksakan bibirku untuk membuka meski terasa berat. Isakanku sudah mulai mereda. Dan aku benar-benar tak ingin ia pergi lagi. Tak mau ia meninggalkanku lagi.
Dengan nada geli, Myungsoo bicara lagi,
“Tidak akan, pabboya. Aku akan menemanimu mulai sekarang. Karena itu, kembalilah padaku.”
***
Hal terindah dalam hidup itu, apa?
Jika dulu aku tidak bisa menjawabnya, maka sekarang aku bisa.
Hal terindah dalam hidup bukanlah ketika kau berhasil menjadikan dirimu hebat dengan segala hal yang kau miliki, bukan pula dengan cara menyombongkan diri kepada orang lain.
Hal terindah dalam hidup justru adalah ketika kau dapat menemukan kebahagiaanmu sendiri tanpa dibayangi kejadian sedih di masa lalu. Serta menghilangkan segala prasangka buruk dan memulai lembaran baru.
.
.
.
.
.
END
Hi hi! Akhirnya aku kembali setelah sekian lama gak nge post apapun. maaf banget banget buat yang mungkin masih nungguin player, aku belum ada ide buat kelanjutannya. nah ff ini salah satu ff yang pernah aku ikutkan dalam lomba, tapi gak masuk tiga besar huhu T.T jadinya aku post ke sini deh hehe, dont forget to leave your comments ya^^ kamsahamnida~