[5th] Myungsoo-Jiyeon Series Fanfiction

 

 

Author             : Jeska

Title                 : Love in Winter

Cast                 : T-ara’s Park Jiyeon & Infinite’s L

Genre              : School life, Fluff, Romance, Slice of life

Rating             : PG-15

Length             : Oneshot

Disclaimer       : The Casts are not mine, but the plot is mine. Please don’t be a Plagiator and Re-Post this fanfict without my permission. And Happy Reading good readers!

 

© Jeska Presented (29-12-2015)

 

Hal terindah dalam hidup itu, apa?

Maksudku, hal apa yang membuatmu menganggap suatu kejadian tampak indah hingga kau menyimpannya di memorimu yang terdalam dan berharap tak akan pernah terlupakan?

 

Kurasa hidupku kelewat datar untuk memilih beberapa momen yang berkesan agar dapat kutaruh di tempat itu.

 

Entah, apakah kenanganku telah terkubur oleh benda-benda tidak penting, atau memang hal terindah semacam itu tak pernah hadir menyapa hariku.

.

.

.

.

.

Story begin

***

Apa yang pertama kali kau pikirkan? Ketika melihat seorang siswi SMA tingkat akhir yang berjalan angkuh disepanjang koridor sekolah. Menaikkan dagu dan melempar tatapan tajam tak peduli pada siapapun yang melewatinya.Wajahnya memang terlihat menawan, tapi sikapnya yang serba berlebihan dengan menganggap diri paling hebat itu seolah meraup habis semua kecantikannya.

Ngomong-ngomong, dia tampak tak punya teman. Tak seorangpun terlihat ingin menyapanya, tak seorangpun tampak tersenyum tatkala menatapnya.

‘Karma orang sombong.’

Sudah lama ia sadari hal itu, kelewat lama malah. Sejak pertama kali hingga hari ini, menit ini dan detik ini. Namun siapa peduli? Toh mereka juga punya masing-masing hal yang perlu dibanggakan. Jadi, memilih untuk menjadi sombong tak ada salahnya. Sama sekali tidak.

Apalagi gadis itu adalah aku.

***

Semua hal berjalan seperti biasanya.

Matahari terbit di pagi hari, burung-burung bernyanyi bersama koloni, dan semut-semut terjaga lebih pagi untuk bergotong royong mencari nutrisi.

Tak ada yang istimewa, tak ada sesuatu yang menimbulkan sedikit saja keterkejutan di wajahku kala melihat awan yang mulai kelabu karena musim dingin akan segera tiba, atau saat menatap gerbang sekolah, pun ketika berjalan melewati orang-orang.

Benar-benar biasa. Membosankan.

Hidupku sudah cukup membosankan dengan menerima tatapan tak suka dan cemoohan setiap hari, ditambah lagi dengan sekolah membosankan yang memaksaku untuk tetap datang disaat aku sama sekali tak ingin bangkit dari tempat tidur. Aku kadang berpikir, apa lagi yang bisa sangat membuat bosan selain ini? Kurasa tak ada.

Lagipula selama si cupu Do Kyungsoo masih memenuhi tangannya dengan buku-buku tebal dari perpustakaan, atau si wanita kurang kerjaan Son Naeun yang tetap setia menempeli Lee Taemin seperti semut mengerubungi gula, atau juga si tiang Park Chanyeol yang—entah kenapa semakin hobi menggelantung di ring basket lapangan outdoor; aku pun yakin hari-hariku tak akan berubah menjadi lebih menarik.

Kecuali… ya kecuali—Kyungsoo tiba-tiba muntah dihadapan buku-buku kesayangannya; Naeun berhenti mengikuti Taemin dan mencari incaran lain; dan Chanyeol keluar dari klub basket sekolah untuk masuk ke ekskul tata boga.

Tapi itu semua tak mungkin terjadi.

Sungguh-sungguh tak mungkin.

***

Saat jam istirahat di hari Senin yang terasa lebih panjang dari hari-hari biasanya, aku melangkahkan kaki dengan berat menuju kantin. Penyakit malas gerak-ku kambuh lagi, meski perut ku tak tau malu minta diisi; keroncongan dan berbunyi-bunyi.

Aku mengambil makanan dan mengambil tempat. Tak ada yang lebih baik selain duduk sendirian di pojok sebelah kanan. Meja favoritku, dimana tak seorang pun datang untuk mengisi kecuali diriku sendiri.

Biarlah.

Aku juga tak ingin sekelompok gadis-gadis tukang rumpi itu memenuhi tempat makanku dengan beribu kalimat tak penting yang mereka lontarkan dengan gaya berlebihan. Dan lebih tak ingin lagi seorang lelaki di sudut sana dan di depan sana duduk berhadapan denganku, karena kami pasti akan dilingkupi oleh aura-aura seram berwarna hitam ke-ungu-an.

Hih, aku tak mau.

Meskipun sendiri, aku menikmati setiap detik yang kulalui.

Percayalah. Aku tak bohong ketika mengucapkannya. Aku juga tak—

“Ji eun-ah!”

Tidak. Itu bukan namaku. Bukan aku yang dipanggil tetapi aku yang bergerak memutar kepala. Spontan saja, karena aku mengenal sang pemilik nama. Setidaknya dulu, pernah berteman dengan dia.

Kudapati wajah cemberutnya—bibir mengerucut dengan kening berlipat dalam—sambil berjalan kesal menjauhi seseorang yang mengejarnya. Aku alihkan pandangan, dan Jang Wooyoung si pacar sedang menghembuskan napas lelah seraya tetap melangkah. Kelihatan sekali mereka sedang bertengkar; sesuatu yang biasa hadir di kehidupan berpacaran.

Ya, yang dulu juga pernah kurasakan.

**

Kim Myungsoo mungkin adalah lelaki paling brengsek sedunia. Benar-benar menjengkelkan melebihi jenis manusia manapun yang pernah kutemui. Bahkan dua kali lipat lebih menyebalkan daripada si gadis sok cantik Irene Bae, pun dibandingkan dengan si tengil tukang jail Kim JongIn. Dan terlebih-lebih lagi, aku tak akan bisa membencinya karena dia—

“Sayang,”

—Pacarku.

Mwo?” ucapku ketus seraya melipat tangan di depan dada. Ku hadapkan punggungku padanya yang tampak lelah menyusul langkah. Aku tak peduli. Dia sungguh sudah keterlaluan hingga membuatku ingin menendangnya ke belahan dunia utara agar tak pernah muncul lagi. Atau menjambak rambutnya sampai rontok dan botak supaya ia malu pergil kesekolah dan memutuskan untuk berhenti. Atau juga—

“Aku hanya bercanda, Jiyeon-ah.”

Aku tetap mengunci mulut, meski beribu kata-kata kutukan sudah mendesak ingin keluar. Kalau bisa ku muntahkan ke wajahnya yang tampan.

“Jangan sensitif begitu, dasar bocah.” Ucapnya lagi sambil meraih tanganku dan membenturkan kepalaku ke dadanya.

Idiot, ini sekolah; dan dia memelukku di tengah ruang olahraga yang dipenuhi orang.

***

Aku tersadar saat seseorang yang entah siapa namanya menyenggol kaki mejaku hingga menimbulkan suara yang cukup besar. Kulihat orang itu mengerang kesakitan sambil terus berjalan terseok-seok.

Sesangi, lagi-lagi aku melamun tanpa sadar.

Melamunkan si brengsek yang kehadirannya—sampai saat ini masih terus ku sesali. Masa-masa sekolah menengah pertama yang kulewati tampaknya begitu suram dengan eksistensi dirinya. Lagipula manusia mana yang mau-mau saja berpacaran di usia se-bocah itu?

Aku malu mengakuinya sekarang.

Ku tutupi wajah dengan kedua telapak tangan sambil menggeleng-gelengkan kepala. Enyahlah dari pikiranku yang suci, Kim Myungsoo. Kau membuat otakku tercemar dengan segala macam tingkah lakumu yang sialnya tak pernah bisa kulupakan. Seolah melekat erat di dalam sana hingga aku tak tau harus menghapusnya dengan apa.

***

Bel pulang sekolah telah berbunyi nyaring; hampir-hampir membuatku mengumpat mendengar suaranya. Terkejut sekali, karena ketika itu aku hampir meletakkan kepala di atas meja, menahan kantuk di pelajaran Sejarah memang tak pernah menimbulkan hasil.

Persetan dengan nilai merahku.

Setelah mengucapkan salam ‘terimakasih’ kepada Lee Seonsangnim, aku segera memasukkan buku dan alat tulisku kedalam tas, kemudian berlalu keluar kelas tanpa menyapa atau menoleh pada siapapun.

Sudah biasa.

Lagipula sebentar lagi pasti akan ada yang—

“Ayo pulang bersamaku, Jiyeon-ah!”

—aku tersenyum miring, diam-diam. Ku eratkan peganganku pada tali tas sambil terus melangkahkan kaki. Lelaki itu kini berjalan disampingku. Aku tak perlu memutar kepala untuk mengetahui siapa dia.

“Ayolah, sekali saja. Kau selalu menolakku.”

Dengan gaya angkuh seperti biasa, aku menggeleng. Kulirik ia dengan sudut mata, tampak ekspresi kesal diwajahnya. Biarkan saja, memiliki banyak penggemar memang terasa menyenangkan. Dan lagi, artis mana yang ingin pulang bersama fans-nya? Kurasa tak ada.

“Baro-ya, lain kali saja, oke?”

Aku menepuk bahunya dan melewati lelaki itu untuk menuju ke parkiran mobilku. Meski para wanita mencemooh diriku, para pria tetap menyukaiku karena aku punya wajah yang cantik dan badan yang bagus. Aku tak perlu pengakuan siapapun selama orang-orang semacam Baro masih berada di pihakku.

Sombong bukan keahlianku.

Hal itu sudah melekat pada diriku sejak aku ditakdirkan untuk menjadi seorang Park Jiyeon.

***

Saat mengendarai mobil menuju rumah, aku mengumpat tiga kali karena terjebak macet panjang. Badanku sudah lengket dan  ingin segera merasakan rendaman air panas. Rambutku pun sudah lembek karena terlalu banyak diterpa udara dingin. Aku ingin secepatnya sampai, dan melompat ke dalam bath up.

Namun macet sialan ini mengulur waktuku lebih panjang dari yang bisa ku toleransi.

Selama hampir satu jam, aku terus-menerus memukul stir mobil dengan kesal. Tatapan mataku tajam dan menusuk. Aku benci keadaan ini. Aku benci menunggu, aku benci kehilangan jam-jam istirahatku.

“Sudah hampir jam 5,” gumamku seraya menghela napas lelah. Menyenderkan punggung pada sandaran kursi mobil. Tanganku berhenti menggenggam stir, dan beralih mengusap wajah. Ku edarkan pandangan ke seluruh penjuru. Sejauh yang dapat ku jangkau dari kaca mobil.

Di seberang sana, aku lihat sebuat taman yang luas dipenuhi pohon-pohon, dilapisi rumput, dan dihiasi bunga; yang semuanya tampak berayun mengikuti arah angin. Mereka pasti mulai merasa kedinginan, sama seperti aku dan orang-orang yang mulai memakai jaket untuk bepergian.

Musim dingin hampir tiba; musim dingin ke-4 yang kulalui setelah hari itu.

**

Kim Myungsoo mengajakku mampir ke taman seusai sekolah. Kami berjalan kaki sambil bergandengan tangan. Sesekali berbicara dan tertawa. Aku senang, tentu saja. Lelaki ini cinta pertamaku yang tak akan mungkin bisa ku lupakan.

Saat sampai, ia menarik tanganku menuju salah satu bangku taman yang tampak baru selesai di cat, berwarna kuning keemasan. Aku duduk disebelahnya dengan malu-malu. Bulu mantel coklatku bergoyang-goyang terhembus angin. Rambut sebahu ku pun terayun-ayun dengan pelan, membuatku harus menyelipkannya ke belakang telinga berkali-kali.

Masih menunduk, ku lihat Myungsoo menatapku dengan wajahnya yang terlihat aneh. Belum pernah kudapati ekspresi mukanya yang seperti itu. Membuat aku bertanya-tanya, apa yang sedang ia pikirkan dengan kening yang berkerut dan mata yang bergerak liar itu?

Detik-detik berlalu tanpa suara; hanya terdengar gemerisik ranting dedaunan yang saling beradu, serta hembus-hembus napas kami berdua yang nyaris membuat gumpalan asap dingin keluar dari mulut. Aku tak terbiasa dalam situasi hening seperti ini, aku tipe orang yang banyak bicara di depan siapapun. Jadi aku memberanikan diri untuk memulai percakapan. Karena tampaknya Myungsoo akan terus bungkam.

“Ada apa mengajakku kesini?”

“Eh?” Ia benar-benar tersentak. Kuanggap saja ia begitu karena suaraku terlalu merdu.

“Hm—aku—aku ingin—“ dengan tangan gemetar, ia merogoh kantung celananya. Mungkin cuaca dingin membuatnya menggigil. Atau mungkin aku yang membuatnya gugup.

Aku mengikuti pergerakannya, mengamati dengan saksama; benda berbentuk segi empat berada dalam genggamannya. Dua tangan ia kerahkan untuk menjulurkan benda itu ke depan wajahku. Membuatku terkejut.

“Ini—hadiah untukku?” ucapku dengan mata membulat.

Myungsoo mengangguk, kemudian membuka kotak itu dan memperlihatkan sebuah kalung berliontin bunga yang tampak berkilau dimataku. Indah sekali sampai aku mengira tengah mendapat lamaran pernikahan seperti yang sering kulihat di televisi.

Bedanya, aku tak tau Myungsoo mendapatkan kalung itu darimana. Apakah ia mencuri punya ibunya, atau menemukannya dijalan, atau membeli sendiri dengan uang hasil jerih payahnya.

Tapi aku tak memikirkan hal itu lebih lanjut, karena detik berikutnya aku merasakan Myungsoo memasangkan kalung indahnya ke leherku.

***

Aku tersentak ketika bunyi klakson saling bersahutan terdengar dari arah belakang. Kembali ke alam nyata, aku sadar telah melamun lagi. Bahkan sekarang lebih parah karena aku menghalangi jalannya orang-orang yang hendak segera pergi.

Segera kujalankan mobil dengan sedikit ngebut. Berbelok ke kanan untuk mengambil jalan pintas menuju rumah. Kulewati taman itu dengan cepat, hanya sempat kulirik dengan ujung mata.

Jam 17.15 tertera ketika aku melirik dashboard. Kugelengkan kepala beberapa kali. Bisa-bisanya kenangan itu muncul disaat yang sangat-sangat tidak tepat.

Memalukan.

Dan memuakkan.

Kim Myungsoo sialan.

***

Next day

 

Kim Myungsoo sialan.

Kenapa dia kembali? Maksudku, kenapa aku harus bertemu dengannya lagi? Tidak, maksudku, kenapa aku… tak bisa bersikap biasa saja saat berpapasan dengannya di koridor sekolah pagi ini?

Aku tengah berjalan sambil menaikkan dagu seperti biasa. Biasa dan biasa. Kuanggap semuanya tampak biasa seperti biasa.

Namun kala ku injakkan kaki di anak tangga terakhir lantai 2 dan mengambil jalan berbelok ke kiri untuk menuju kelasku yang suram, kutemukan lelaki itu berjalan berlawanan arah denganku bersama Park Chanyeol dan Choi Minho. Membuatku nyaris memuntahkan permen karet strawberry yang sedang ku-kunyah beserta semua makanan yang mengisi perutku saat sarapan.

Tapi aku tak mungkin melakukannya ditengah-tengah gerombolan manusia tak penting yang mengekori si brengsek seperti lalat mengerubungi bangkai. Hanya tatapan terkejut dan tak percaya yang tertera di wajahku. Mungkin terlihat bodoh, tapi aku tak peduli. Karena aku yakin dia juga tak akan melihatku.

Dan yang terus berputar mengelilingi kepalaku saat ini adalah, alasan kenapa dia bisa berada disini padahal seharusnya ia masih tinggal di Amerika; bersenang-senang dengan wanita tak tau malu yang beruntung menjadi pilihannya, beruntung bisa berada didekatnya selama hampir 4 tahun, dan sangat-sangat beruntung karena dapat mengalahkanku.

Ya walaupun, aku tau ia pergi karena suruhan orang tuanya, dan untuk melanjutkan sekolah. Tapi tetap saja, Krystal Jung tak boleh ikut dengannya.

“Park Jiyeon!”

Aku sampai di kelas dalam keadaan selamat meski nyaris kehabisan napas. Kutolehkan kepala mengikuti asal suara, seseorang memanggilku dengan berteriak. Suaranya cempreng; sama sekali tak enak didengar.

Untung aku masih berada dalam batas kesabaran, meski nyaris sampai ke ambang.

“Oh Suzy, wae?”

“Kau sudah tau?” balasnya yang membuat keningku berkerut, “Kim Myungsoo kembali.”

Kim Myungsoo sialan telah kembali. Tentu saja aku tau.

***

Meskipun aku benci Kim Myungsoo, tapi aku jauh lebih benci disuruh mengambil buku latihan teman-teman sekelas ke ruang guru yang berada di lantai 3.

Tsk.

Ini semua karena aku melamun di tengah jam pelajaran Shin Seonsangnim. Ia meneriaki namaku kelewat keras hingga nyaris menggetarkan kaca jendela. Dan memberiku hukuman ini. Menyebalkan sekali. Tak tahukah dia bahwa kemarin sore aku terpeleset di toilet sampai kakiku sakit dan moodku sedang turun drastis?

Oh, tentu saja tak tau.

Sampai ke lantai 3, aku berjalan sambil melihat kanan-kiri. Bukan hendak menyeberang, hanya untuk mencuci mata. Mana tau saja aku dapat mengintip Kris Wu si cassanova sekolah sedang melepas kancing baju atasnya, atau mendapati Kwon Jiyong Seonsangnim tengah mengajar dengan gaya rambut dan pakaiannya yang khas dan menawan. Mungkin bisa menaikkan mood ku walau sedikit.

Namun semua hanya tinggal harapan ketika aku tiba di ruang guru. Mengetuk pintu tanpa mendapat jawaban dan langsung berjalan menuju meja Shin Seonsangnim yang keliatan diliputi aura tak bersahabat. Cepat-cepat aku mengambil buku yang berada di atas mejanya, lalu berbalik lagi untuk kembali.

Detik itu juga, mataku menangkap sosok Kim Myungsoo yang berdiri dengan memasukkan dua tangan ke dalam kantung celana. Menatap lurus ke arahku tanpa ekspresi.

Aku mematung.

***

“Park Jiyeon!”

Aku terus berjalan tanpa memperdulikan panggilannya. Buku-buku yang kupegang sudah terlalu berat untuk dapat ditambahkan dengan rasa sakit hati yang dengan tak tau malunya kembali hadir tanpa permisi.

Jangan sampai aku menangis disini, Tuhan.

“Ya Park Jiyeon!” Aku menggeleng-gelengkan kepala seraya mempercepat langkah. Jangan sampai Kim Myungsoo si sialan dapat menyusulku. Jangan sampai. Pokoknya jangan sampai—

—Dan ia berhasil meraih tanganku.

“Kenapa sombong sekali?”

Ia membalikkan badanku hingga kini posisi kami berhadap-hadapan. Aku menahan napas melihat wajahnya. Cepat-cepat aku berkata dengan hampir seperti berteriak, “Aku rasa aku tak punya urusan denganmu. Jadi jangan panggil aku lagi.”

Lalu tanpa menoleh lagi, aku segera melanjutkan langkah. Demi Tuhan, aku bisa mati jika terus-menerus berada didekatnya. Jantungku bisa meledak, isi perutku bisa keluar semua, dan—dan tubuhku bisa kehilangan kendali.

Aku tak bisa, pun belum siap; untuk bertemu dengan Kim Myungsoo lagi setelah apa yang terjadi diantara kami.

“Tidak punya urusan apanya?” Aku terkejut ketika mendapati ia masih mengikutiku. Kulirik kebelakang, lelaki itu tersenyum miring sambil menaikkan sebelah alisnya. Kupaksakan kakiku yang sakit untuk berlari. Tak peduli tulangku bergemeretak, aku tetap tak ingin ia menggapaiku lagi.

Saat tiba didepan tangga menuju lantai bawah, aku nyaris tak bisa mengerem lariku hingga semua buku yang kubawa beterbangan kemana-mana.

Double shit.

Rasanya air mataku benar-benar ingin keluar.

Aku berdiri dengan benar seraya mengatur napas. Kubersihkan beberapa debu yang menempel di bagian belakang rok seragamku. Setelahnya barulah aku punguti satu-satu buku yang berserakan itu.

Ini semua gara-gara Kim Myungsoo. Aku benci dia.

“Siapa suruh lari-lari.”

Mendengar suaranya membuatku melotot geram. Ia malah balas mengibaskan tangan. Seolah-olah aku telah melakukan hal bodoh dan membuatnya malu. Aku langsung mengalihkan pandangan, kembali mengambil buku-buku.

Tak kusangka Myungsoo pun membantu. Ia berjongkok disampingku; melakukan hal yang sama. Aku hanya diam, tak memprotes. Biarlah dia membantuku untuk saat ini, supaya aku bisa cepat pergi dan kembali ke kelas. Namun sampai pada detik dimana ada satu buku yang tersisa, dan aku berniat mengambilnya, begitupun dengan Myungsoo.

Tangan kami bersentuhan tanpa sengaja.

 

Apakah aku sedang bermain drama?

***

Hari ini udara terasa lebih dingin dari sebelumnya. Butiran salju pun mulai tampak turun dari langit yang semakin kelabu. Musim dingin sudah sepenuhnya datang.

Aku merapatkan kembali mantel hitam kesayanganku sambil terus meniti langkah menuju kelas. Ku abaikan grasak-grusuk dan bisik-bisik yang mengiringiku sejak tadi.

Orang famous seperti diriku memang selalu mencuri perhatian.

Aku tahu itu. Jadi tak perlu memusingkan apa yang sedang mereka bicarakan dibelakangku. Dengan sedikit tertatih, aku menaiki anak tangga perlahan-lahan. Memar di pergelangan kakiku karena terjatuh kemarin masih belum hilang, dan masih terasa sakit. Padahal aku sudah mengolesinya dengan salep pemberian Halmeoni.

Ck. Ini sangat mengganggu. Aku harus berpegangan pada lengan tangga untuk dapat berdiri tegak dan berjalan pelan. Salah langkah sedikit saja aku bisa kembali terjatuh. Dan rasanya pasti tiga kali lipat lebih sakit. Bahkan aku sudah meringis beberapa kali karna kesakitan.

“Jiyeon-ah!”

Kala kembali mencoba mengangkat kaki untuk menaiki anak tangga kelima, aku mendengar namaku dipanggil dari arah belakang. Dengan suara si pemanggil yang tak pernah terasa asing di telingaku. Membuatku terkejut hingga refleks membalikkan badan dengan kelewat cepat. Tak sadar keseimbanganku pun hilang hingga nyaris membentur lantai.

“Ya!”

Tapi Kim Myungsoo menangkapku.

Dalam sekejap ia sudah berhasil memeluk tubuhku dengan kedua tangannya yang kekar. Meski aku menutup mata, aku tak pernah salah mengenali bau parfumnya—yang aku sukai dari dulu. Napasnya menerpa wajahku, terasa sangat dekat. Dan aku sadar aku tak ingin cepat-cepat membuka mata.

“Gwenchana?”

Suaranya yang terdengar cemas sekali lagi menyapa gendang telingaku. Tapi aku masih diam tanpa memberikan respon apapun. Entah kenapa hanya tak ingin ketika aku bilang aku baik-baik saja, ia akan melepaskanku kemudian pergi.

Kim Myungsoo memang brengsek.

“Jiyeon-ah, gwenchana?”

Aku merasakan tangannya mengelus pipiku yang dingin seolah beku; dan ia bawakan kehangatan yang mengalir kedalam tubuhku secara perlahan.

“Hm,” aku mengangguk seraya membuka mata. Mendapati raut wajahnya yang tampak lega, dekat—dekat sekali dari jangkauan ku. Aku pun baru menyadari seberapa besar rasa rinduku padanya selama ini. Seakan-akan bersarang di dasar hatiku; menumpuk disana; bertambah setiap harinya. Tapi tak pernah ku coba ungkapkan, tak pernah sekalipun aku hiraukan kendati dia sudah lama pergi dan tak pernah kusangka akan kembali.

“Berhati-hatilah, Ji.” Katanya setelah beberapa detik berlalu, sambil menepuk-nepuk kepala ku dengan ekspresi menyebalkan. Sebelah tangannya masih dipinggangku, posisi kami pun masih seperti tadi. Tampaknya ia tak peduli dengan haksaeng yang lewat dan melemparkan tatapan aneh sambil bergumam tidak jelas.

“Arraseo,” jawabku kemudian memalingkan wajah. Pembuluh darah ku bisa pecah kalau darah ku terus-terusan berdesir seperti ini, perutku pun bisa meledak jika terlalu banyak kupu-kupu yang beterbangan didalamnya.

“Jadi, kau tidak bisa berjalan?”

Aku menggeleng, “Tidak jug— YA! Apa yang kau lakukan?!“

“Menggendongmu.” Dalam sekejap saja, aku sudah berada di gendongannya. Mataku melotot saat melihatnya tersenyum miring.

Kim Myungsoo yang dulu sudah kembali. Dua kali lipat lebih menyebalkan.

***

Mungkin Kim Myungsoo sudah gila karena mengekoriku terus-menerus. Mungkin ia harus dimasukkan ke rumah sakit jiwa karena tak pernah mau berhenti berjalan dibelakangku sejak kemarin. Meski para fansnya—yang entah darimana ia dapatkan—sudah bertanya berulang kali kepadanya tentang aku; siapa aku; siapa aku baginya; siapa aku hingga ia mengikutiku seperti ini.

Rasa risihku sudah nyaris hilang, aku tak lagi memikirkan ocehan orang lain. Namun aku hanya tak ingin perlakuannya membuatku kembali terbiasa dengan adanya dia. Dengan eksistensinya yang selalu didekatku. Ditambah lagi dengan pertolongan-pertolongannya kepadaku. Dan aku tak bisa membiarkan diriku merasakan kenyamanan itu lagi.

Ini benar-benar menyiksa.

Hingga tanpa sadar aku meneteskan air mata.

Untungnya aku tengah berada di taman sekolah dengan beberapa orang yang sibuk bercengkrama.

Ck. Kenapa aku jadi lemah begini?

“Ya, kenapa kau menangis?”

Aku menatapnya kesal, dengan mataku yang sudah berair. Ingin rasanya aku berteriak; menumpahkan segala hal yang memenuhi relung hati dan pikiranku. Kalau bisa tak menyisakan satupun agar kelegaan dapat kunikmati ketika berhadapan dengannya.

“Kim Myungsoo brengsek, pergilah dari hi—“

“Neo jinjja,” tiba-tiba dia memelukku. Membuatku menelan kembali kata-kata yang hendak keluar. Tubuhku menegang dan jantungku berdegup kencang.

“Dari dulu hingga sekarang, kau bahkan tak memberiku kesempatan untuk menjelaskan, Jiyeon-ah. Aku pergi bukan karena ingin berada jauh darimu. Bukan juga karena ingin berdekatan dengan Krystal. Berhentilah berpikiran seperti itu. Aku dan Krystal hanya kebetulan bersama-sama pindah ke Amerika.”

Myungsoo berhenti bicara, menghela napas dengan berat. Kemudian mengelus rambutku seperti yang sering dilakukannya dulu. Sementara aku masih terdiam tanpa suara.

“Kau tau aku pergi untuk belajar, kan? Dan sekarang aku sudah kembali, karena dirimu. Aku memikirkanmu setiap hari, bahkan membuat perjanjian dengan orang tuaku agar aku bisa melanjutkan sekolah di Korea lagi. Kalau kau terus menghindariku seperti ini, aku akan per—“

“A-andwe…” aku paksakan bibirku untuk membuka meski terasa berat. Isakanku sudah mulai mereda. Dan aku benar-benar tak ingin ia pergi lagi. Tak mau ia meninggalkanku lagi.

Dengan nada geli, Myungsoo bicara lagi,

“Tidak akan, pabboya. Aku akan menemanimu mulai sekarang. Karena itu, kembalilah padaku.”

***

Hal terindah dalam hidup itu, apa?

 

Jika dulu aku tidak bisa menjawabnya, maka sekarang aku bisa.

 

Hal terindah dalam hidup bukanlah ketika kau berhasil menjadikan dirimu hebat dengan segala hal yang kau miliki, bukan pula dengan cara menyombongkan diri kepada orang lain.

 

Hal terindah dalam hidup justru adalah ketika kau dapat menemukan kebahagiaanmu sendiri tanpa dibayangi kejadian sedih di masa lalu. Serta menghilangkan segala prasangka buruk dan memulai lembaran baru.

.

.

.

.

.

END

 

Hi hi! Akhirnya aku kembali setelah sekian lama gak nge post apapun. maaf banget banget buat yang mungkin masih nungguin player, aku belum ada ide buat kelanjutannya. nah ff ini salah satu ff yang pernah aku ikutkan dalam lomba, tapi gak masuk tiga besar huhu T.T jadinya aku post ke sini deh hehe, dont forget to leave your comments ya^^ kamsahamnida~

 

 

 

 

 

 

 

 

 

[S-Savers Contest; Banjir TomatCeri]- On Our Way

DDnP-vxUAAA6ZvS

Judul                            : On Our Way

 

Author                         : Jeska

 

Disclaimer                   : Naruto belongs to Masashi Kishimoto. But the storyline belongs to me. No material profit taken but don’t be a plagiator and don’t take this fict without permission.

 

Rating                          : T

 

Prompt number          : #79

 

Kategori                      : SasuSaku AU

 

Summary                     : [S-Savers Contest; Banjir TomatCeri] Uchiha Sasuke menerobos masuk ruang kerja Haruno Sakura tanpa kata permisi dan membawanya menuju perjalanan paling tak terencana seumur hidupnya.

 

.

 

Adalah suatu keputusasaan ketika jarum jam menunjukkan tepat pukul empat sore di hari Rabu yang terik oleh sinar matahari yang menantang, Uchiha Sasuke keluar dari gedung Uchiha Corp dengan sedikit berlari; wajahnya datar tak berekspresi, jas hitam yang selalu menemaninya tertinggal di sisi meja di ruang kerjanya, lengan kemeja seputih gading yang ia kenakan digulung sampai batas siku, satu kancing paling atasnya terbuka; tak lagi tampak dasi abu-abu itu di sana.

 

Adalah suatu keterkejutan yang melanda bak badai di siang bolong , ketika untuk yang ketiga kalinya Haruno Sakura menguap lebar; rasa kantuknya hampir mencapai ambang batas dan ia benar-benar akan memasuki alam mimpi jika saja sang kekasih—si Uchiha bungsu tidak muncul dari pintu ruang kerjanya dengan tergesa dan langsung menerobos masuk tanpa permisi; menarik tangan Sakura yang tenggelam dalam laporan-laporan kesehatan pasiennya yang berserakan di atas meja.

 

Adalah  Lykan Hypersport berwarna hitam metalik yang membawa sepasang kekasih beda profesi itu melaju membelah jalanan Tokyo dengan kecepatan di atas rata-rata. Keramaian yang semula tak dapat terbendung kini perlahan-lahan mulai tertinggal di belakang, Sasuke mengendarai mobil sport mewahnya dengan nyaris—tidak, benar-benar gila-gilaan. Sepenuhnya mengabaikan teriakan dan umpatan si gadis muda Haruno yang hampir-hampir menendang bokongnya karena tak urung memelankan laju kecepatan sang mobil.

 

“Uchiha Sasuke—kau benar-benar…”

 

“Dasar gila, kau sudah gila!”

 

“KAU DENGAR AKU TIDAK?”

 

Haruno Sakura merasakan tenggorokannya tercekat, tak sanggup berteriak lagi. Mendapati suaranya nyaris habis tersedot bunyi klakson yang menggema serta nyaring pekikan pengendara lain yang beruntungnya tidak Sasuke tabrak.

 

Rambutnya—ya, rambut merah mudanya yang lembut dan berkilau—berterbangan seiring hembus angin yang datang menggebu-gebu ke arahnya. Sakura menarik napas panjang, melihat jas putih khas dokter itu masih melekat di tubuhnya, setengah meringis mendapati beberapa noda samar di sana.

 

Sasuke si lelaki gila telah membuatnya berlari pontang-panting meninggalkan rumah sakit dengan nyaris tak beralas kaki.

 

“Ganti pakaianmu.”

 

Adalah kata pertama yang Sasuke ucapkan setelah beberapa menit belakangan hanya deru mesin mobil dan tarikan napasnya lah yang terdengar. Sepasang iris obsidian yang sehitam arang itu melirik Sakura sekilas, mendapati sang gadis merogoh sebuah kantong plastik putih dan mengernyit.

“Kau—“

 

“Aku tak tau, aku hanya ingin pergi. Aku tak tau tujuanku tapi aku tau aku ingin pergi bersamamu.”

 

Sebaris kalimat itu membuat Sakura tercengang, emeraldnya membulat sempurna. Tak habis pikir kenapa kekasih paling-pintar-sekaligus-paling-tampannya-itu bisa menjadi setidakwaras ini. Bibir merah mudanya terbuka sedikit, hendak melontarkan beberapa kata,

“Aku tidak tau harus berkata apa kali ini, Uchiha. Tapi kau harus menceritakan semuanya. Segera.”

 

Pemuda raven berparas menawan itu menyeringai, sebelah tangannya merangkak dari setir mobil menuju tangan Sakura, meremasnya beberapa detik sebelum menoleh,

“Cepat ganti bajumu.”

 

“Ya…” balas Sakura dengan suara tertahan, “DAN KAU MENYURUHKU MENGGANTI BAJU DI DALAM MOBIL SPORT MAHALMU YANG SEDANG MELAJU KENCANG INI HINGGA RASANYA PAKAIAN DALAMU INGIN TERBANG!”

 

Lalu untuk pertama kalinya, Uchiha Sasuke nyaris meledakkan tawa.

***

 

Jadi di sini lah mereka berhenti, di tepi jalan lintas yang kebetulan sepi. Di bawah naungan langit biru yang mulai menampakkan gurat-gurat kekuningan; senada dengan sang mentari yang mulai beranjak pelan-pelan menuju sisi barat; bersiap tinggalkan hari yang panjang dan melelahkan untuk berbagi tugas dengan sang rembulan demi memberi sedikit cahaya pada gelapnya malam.

 

Uchiha Sasuke bersandar di kap depan mobil dengan satu tangan dimasukkan ke dalam kantung celana. Ekspresinya masih datar meski sesekali mengerutkan kening atau menghirup napas berat. Otaknya terus berputar memikirkan jalan keluar masalah perusahaannya. Terbentur dengan kendala mengenai beberapa proyek yang akan dilaksanakan, meski sudah tertata dengan rapid an disampaikan dengan baik oleh staff kepercayaannya dalam rapat mereka tadi pagi, beberapa klien tetap merasa belum puas. Mereka terus mendesak si bungsu Uchiha untuk mengubah jadwal dan mempercepat pelaksaan proyek tersebut, yang tentu saja harus membuatnya mengatur ulang semua schedule. Ditambah lagi proyek ini bukan proyek main-main, ini sebuah proyek besar yang melibatkan banyak perusahaan lain dan para pemegang saham, kesalahan sedikit saja akan berakibat fatal untuk kelangsungan perusahaannya. Amarahnya nyaris meledak di pertemuan tadi, didesak dan dipaksa bukanlah sesuatu yang menyenangkan , terlebih untuk seorang Uchiha Sasuke.

 

Dan ia merasa harus sedikit menjauh dan mendinginkan kepalanya barang sejenak.

 

Sambil memijit pelipis, Sasuke melirik melewati bahunya. Memastikan apakah sang kekasih sudah selesai berganti pakaian atau belum. Kemudian melihat pintu mobil yang perlahan membuka membuatnya tersenyum tipis.

 

“A—“

 

Gadis musim semi itu menutup mulut mulut Sasuke dengan jari telunjuknya, menggelengkan kepala.

“Kau menculikku, membuat posisiku di rumah sakit tengah terancam. Sekarang katakan apa yang membuatmu bertindak seperti ini,” katanya dengan berkacak pinggang.

 

Adalah “She Brings The Rain” Cotton T-shirts by Re/Done yang dikenakan Sakura, dipadu dengan Little Queenie Ripped Jean Shorts by Black NYC, serta sepasang sneaker putih InstaPump Fury Trainers by VATEMENTS X Reebok, tak lupa sebuah gelang Duo Evil Eye Bangle by SWAROVSKI yang melingkar manis di pergelangan tangan kirinya.

 

Ini semua yang ada di dalam plastik pemberian Sasuke dan semuanya… pas. Tidak membuatnya sesak karena kekecilan, tak pula membuatnya tenggelam karena kebesaran. Saat memakainya tadi Sakura berpiki apakah Sasuke memang mengetahui dengan pasti ukuran bahu dan pinggangnya.

 

“Cantik,” kata Sasuke tanpa memperdulikan tatapan mengintimidasi Sakura, ia menarik gadis itu kembali ke mobil dengan sedikit penolakan dan beringsut ke bangku pengemudi.

 

Sang pemuda mulai menjalankan mobilnya, melintasi jalanan yang luas membentang. Matahari sudah hampir setengah jalan menuju peraduan. Dari dalam sini, Sasuke dan Sakura  dapat melihat detik demi detik sang surya bergerak semakin tak terjangkau. Pemandangan yang sangat indah membuat Sakura sejenak melupakan penat dan lelahnya. Ia menutup mata dan merasakan angin yang mulai bersahabat membelai kulit wajahnya. Sesekali tampak melirik si pujaan hati yang raut mukanya masih menyimpan sejuta misteri.

 

Kadang Sakura berpikir, mengenal Sasuke selama hampir setengah umurnya masih belum cukup lama untuk menyentuh bagian-bagian terdalam sudut pemuda itu. Begitu banyak rintangan dan masalah yang Sasuke hadapi; yang disimpannya sendiri; yang tak ia biarkan seorang pun tau.

 

Dari sisi ini, Sakura menyadari Sasuke masih mengenakan pakaian kerjanya; kemeja putih yang mulai kusut karena ulah terpaan angin dan gulungan asal di lengannya.; celana dan sepatunya pun masih sama. Sakura dapat menilik pria itu beberapa kali mengerutkan kening sampai urat-urat di kepalanya terlihat samar-samar. Sakura juga dapat menilik raut kelelahan yang berusaha ia sembuyikan.

 

Gadis itu tersenyum tipis, Sasuke-kun nya sekarang adalah seorang lelaki dewasa yang bertanggung jawab dan pekerja keras.

Sakura bangga padanya.

 

“Sasuke-kun.”

 

“Hn.”

 

Sakura masih mempertahankan senyumnya meski Sasuke tak menoleh.

“Aku akan menunggumu bercerita,” bisik Sakura setelah melayangkan satu kecupan hangat di pipi Sasuke.

 

Sang Uchiha bersemu dalam diamnya.

***

 

Katakan saja sudah tiga puluh menit berlalu. Katakan saja mentari sudah tenggelam sempurna di ujung barat. Katakan saja langit nyaris kehilangan warna cerahnya; sang kegelapan merangkak di kolong-kolongnya, pelan-pelan merayap dan menyelimuti seluruh permukaannya hingga tak satupun biru, kuning, atau bahkan jingga yang sanggup bertahan.

 

Sasuke masih mengendarai mobilnya, mereka telah jauh meninggalkan kota. Dan suatu keberuntungan bagi jantung Sakura karena kali ini si Uchiha tak lagi menginjak pedal gas sekuat tenaga.

 

Syukurlah, ini bisa berarti lebih baik untuk keselamatan hidup mereka berdua. Sebab terkena heart attack adalah penyebab terbesar kematian mendadak di seluruh dunia; dan Sakura tak ingin menjadi salah satu korbannya.

 

Tidak. Jangan sampai.

 

Diam-diam, ia menghembuskan napas lega. Diliriknya sekali lagi Sasuke yang masih berwajah datar, tanpa sadar terkekeh pelan. Tadi, tak sampai sepuluh menit yang lalu, Sakura mengambil ponsel pintarnya dari dalam tas. Membuka kamera depan dan meminta Sasuke berpose bersamanya. Lelaki itu menolak untuk mengikuti ajakan Sakura namun si gadis memaksanya hingga Sasuke luluh. Beberapa selfie yang mereka ambil benar-benar lucu dengan ekspresi Sasuke yang kelihatan terpaksa. Sakura sampai terkikik menyadari betapa tampan kekasihnya ini bahkan dalam wajah cemberut sekalipun.

 

“Bagaimana kalau kita berhenti sebentar untuk makan malam, Sasuke-kun?” kata Sakura setelah menyadari ritme mengganggu perutnya. Anggap saja ia sudah menerima tindakan tiba-tiba Sasuke yang membawanya melakukan perjalanan entah kemana ini. Sekarang ia akan lebih leluasa dan tidak akan marah dan berteriak lagi. Ia sudah cukup memahami bagaimana lelaki itu tampak memiliki masalah yang akan sangat bagus jika Sakura bisa mengetahuinya saat makan malam ini.

 

Sasuke mengangguk, “Baiklah.”

***

Di depan sebuah restauran di pinggir jalan, Sasuke memarkirkan mobilnya di tempat yang sudah tersedia. Keduanya memasuki tempat itu dan mengambil meja di sisi sudut sebelah kiri. Seraya melambaikan tangan sebagai kode kepada si pelayan, Sasuke mengeluarkan ponselnya dari dalam kantung celana. Terdapat beberapa panggilan tak terjawab dan sebanyak lebih dari lima pesan masuk, yang sebagian besar berasal dari si pirang berkulit tan yang berisik—Uzumaki Naruto.

 

Sasuke menghela napas, memesan makanannya dengan cepat kemudian kembali terdiam menatap sang ponsel. Naruto pasti merasa khawatir karena melihat aura kemarahan di mata Sasuke saat rapat berlangsung tadi. Sahabat sekaligus rekan bisnisnya itu pasti sudah paham betul mengenai bagaimana dirinya.

 

“Dari Naruto?” tanya Sakura beberapa saat setelahnya.

 

“Hn.”

 

Dengan satu kedipan mata, Sasuke menekan tombol panggil ke nomor Naruto—Sakura terkekeh tanpa suara melihatnya.

“TEME!”

 

Si pemuda raven sampai harus menjauhkan ponsel hitamnya dari telinga begitu mendengar suara nyaring Naruto dari ujung telpon.

“Jangan berteriak, bodoh.”

 

“TEME! KAU MEMBUATKU KHAWATIR. KUKIRA KAU AKAN GANTUNG DIRI ATAU MENELAN RACUN SERANGGA! AKU TAU KAU—“

 

“Berhenti berkhayal, idiot.” Kalimat Sasuke tak ayal membuat Sakura tergelak. Beginilah persahabatan dari lahir itu terjalin. Dua pemuda jangkung yang sangat bertolak belakang—satunya yang berisik dan menyebalkan, walaupun selalu ceria dan senang berbicara. Satunya lagi yang dingin dan datar, walaupun cerdas dan berkharisma.

 

“Huh, kau benar-benar tidak menghargai perasaanku, dasar Teme.”

 

“Baiklah, Dobe. Aku baik-baik saja dan aku sedang bersama Sakura sekarang.”

 

Suara Naruto terdengar lebih riang, “Benarkah? Berikan ponselmu pada Sakura-chan! Aku ingin bicara de—”

 

“Tidak. Tidak akan pernah.” Sasuke menatap tajam ponsel di genggamannya seolah tatapannya dapat membakar lelaki di ujung sana.

 

Naruto si tukang gombal tidak boleh menjerat Sakura-nya.

“Ck, yasudah.”

 

“Hn.”

 

Hening beberapa saat. Pelayan membawakan pesanan mereka, Sakura mulai menyeruput Lemon Tea-nya sambil terus melirik Sasuke.

 

“Aku akan tutup—“

 

Saat Sasuke hendak menekan tombol merah, Naruto tiba-tiba berujar, “Yakinlah pada dirimu, Teme. Kau pernah menghadapi yang lebih berat dari ini. Nikmati waktumu bersama Sakura-chan dan biarkan pikiranmu jernih. Kau pasti bisa mengatasi mereka.”

 

Tak bisa Sasuke sangkal, kata-kata Naruto membuat semangatnya perlahan-lahan pulih. Seperti beban-beban yang menumpuk di bahunya mulai terangkat. Tanpa sadar ia tersenyum tipis—sangat tipis namun masih sempat Sakura lihat.

 

“Hn. Terima kasih, Dobe.”

***

 

Jarum pendek jam di pergelengan tangan Sasuke sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Berkendara di tengah pergantian musim membuat cuaca sedikit tidak bersahabat. Mereka kini telah menghabiskan makan malam, sembari melirik kepada Sakura yang tampak sibuk dengan ponselnya, Sasuke memutuskan untuk memanggil pelayan agar mengantarkan bill.

 

“Sasuke-kun.”

 

Sakura membuka suara setelah mereka meninggalkan meja dan berjalan menuju kasir. Perkataannya tak mendapat jawaban kendati Sasuke tengah memusatkan perhatian pada dompetnya.

 

“Permisi. Apakah ada penginapan yang tak jauh dari sini?”

 

Si gadis musim semi tersentak mendengarnya, tatapannya horror ke arah Sasuke yang justru tampak tenang. Kenapa pula pemuda ini menanyakan penginapan kepada sang penjaga kasir? Memangnya mereka mau apa—

 

“Oh ada Tuan, kami juga menyediakan penginapan. Jika Anda ingin saya bisa memanggil orang untuk mengantar Anda.”

 

Tanpa merasa perlu meminta persetujuan Sakura, Sasuke mengangguk. Sang kasir pun mengangguk. Segera menghubungi seseorang yang tak sampai sepuluh menit kemudian datang. Bersikap ramah sambil membawa keduanya menuju penginapan kecil yang tampak nyaman dari luar.

 

Haruno Sakura terdiam sesaat—tidak, tidak. Dia sudah terdiam cukup lama sejak tadi. Seolah kakinya menurut saja ketika Sasuke menariknya mengikuti sang pelayan. Mereka memasuki penginapan itu dan memesan kamar. Memesan satu kamar, lebih tepatnya. Sakura menghela napas kala itu, namun hanya bisa menggeleng ketika mendapati raut lelah Sasuke yang terlihat berkali-kali lipat dari sebelumnya.

 

Satu kamar di lantai dua, lorong sebelah kiri bagian paling ujung. Begitu melangkahi pintunya, manik hijau Sakura menyorot sekeliling ruangan yang terbilang luas dengan dinding berwarna cokelat muda, sepasang jendela di sisi sebelah barat, serta sebuah tempat tidur king size di sisi yang satunya. Ada dua buah nakas di masing-masing bagian tempat tidur, terdapat satu lampu kristal kecil, beberapa laci, serta telepon kabel berwarna hitam. Juga terdapat sebuah lemari besi dan tiga buah sofa yang lengkap dengan meja dan televisi.

 

“Kau mau langsung tidur?”

 

Sasuke bertanya sambil melepas satu persatu kancing bajunya. Ia memutuskan untuk sedikit mencuci muka dan rambutnya sebelum beringsut ke tempat tidur. Sementara si gadis hanya mengangguk dan langsung melompat ke atas ranjang.

 

“Jangan lupa hutangmu, Sasuke-kun.” Imbuh Sakura tatkala pintu kamar mandi nyaris tertutup. Terdengar gumaman samar lelaki tersebut sebagai jawaban.

 

Sakura menghela napas. Melirik sneaker putih di lantai, kemudian kembali menatap langit-langit yang dihiasi satu lampu kristal besar yang berpendar kekuningan. Besok ia harus menyiapkan alasan-alasan yang tepat untuk diutarakan kepada Tsunade-sama selaku atasannya. Tapi yang terpenting sekarang adalah bagaimana cara membuat Sasuke mau berbagi masalah yang menimpanya dan membiarkan Sakura memberi sedikit advice kepadanya.

 

Tenggelam dalam lamunan, Sakura sampai tak menyadari Sasuke kini menaiki ranjang hingga menimbulkan bunyi derit yang tak kentara. Lelaki itu kini bertelanjang dada, Sakura memaklumi karena mengetahui kebiasaan kekasihnya itu.

 

Memiringkan kepala, Sakura bertanya, “Jadi, apa?”

 

Uchiha Sasuke menatapnya, terdiam. Onyx dan Emerald bertemu dalam pandang yang tak biasa. Tatapan tajam itu menilik ke binar-binar mata Sakura, mencari dan di detik berikutnya menemukan semua yang dia inginkan. Kebahagiaan; suara tawa, tangis bahagia, hati yang berbunga dan kupu-kupu yang berterbangan. Semuanya ada, di dalam sepasang mata si gadis Haruno.

 

“Sasuke-kun.” Sakura membelai pipi Sasuke. Memberinya kehangatan di tengah dinginnya malam. Ia tersenyum selagi lelaki itu menariknya ke dalam pelukan.

 

Tiga tarikan napas setelahnya adalah pertanda yang sangat baik. Sasuke mulai membuka suara, menceritakan berbagai hal yang mengganggunya. Meski dengan bahasa yang singkat dan padat. Namun tak mengapa karena Sakura sudah jauh lebih mengerti. Ia memahami bagaimana lelahnya sang kekasih harus mengurus perusahaan seorang diri setelah kakaknya—Uchiha Itachi memutuskan untuk pindah ke Amerika bersama keluarga kecilnya—dan mengurus perusahaan yang ada di sana.

 

“Sasuke-kun pasti bisa mengatasinya. Mereka hanya perlu kau yakinkan, jika semuanya memang sudah kau rencanakan secara matang, kau harus mengutarakannya kepada para klien. Mereka akan jauh lebih mengerti jika Sasuke-kun tidak terbawa emosi—“

 

Sakura berhenti sejenak, menjauhkan tubuhnya dari Sasuke,

“Jangan mudah meledak, Sasuke-kun. Kau harus tahan masalahmu dan lihat semuanya dari sisi yang lebih sederhana. Ini hanya tentang kepercayaan dan ketepatan penyampaian.”

 

Kemudian ia menenggelamkan wajahnya di dada Sasuke lagi sementara lelaki itu berpas berat. Sakura benar, Sasuke memang gampang meledak-ledak. Ia tipe orang yang muda tersulut api, yang mudah menimbulkan kebakaran. Sasuke harus belajar banyak untuk mengatasi hal tersebut. Diam-diam ia berjanji pada dirinya sendiri, sepulang dari tempat ini, Sasuke akan mengadakan rapat lagi dan meyakinkan para klienya dengan tenang.

 

“Hn. Terima kasih, Sakura.”

 

Satu kecupan berhasil lolos ke bibir merah muda Sakura yang ranum. Kecupan yang sarat akan perasaan itu membawa keduanya terlelap menuju alam bawah sadar.

 

Malam yang panjang sebentar lagi akan berakhir.

***

 

Pukul lima sore ketika Haruno Sakura selesai dengan pekerjaannya dan telah memiliki janji untuk menemui sang kekasih di apartemen lelaki itu. Jas dokternya kini sudah berganti dengan sebuah kaos putih berlengan pendek, celana jeans panjang berwarna hitam, serta sebuah flat shoes abu-abu yang tampak indah di kaki nya. Ia menenteng sebuah tas jinjing kecil pemberian Sasuke beberapa bulan lalu.

 

Menekan bel apartemen mewah itu, Sakura tersenyum saat tak sampai sepuluh detik kemudian terdengar bunyi klik yang disusul dengan daun pintu yang perlahan terbuka. Menampakkan sesosok pemuda tampan yang dibalut pakaian kerjanya seperti biasa; yang dengan tiba-tiba pula langsung merengkuh sakura tanpa aba-aba. Membuat sang gadis terlonjak kaget, namun tak dapat membendung tawa melihat tingkah sang kekasih.

 

Lihat, dia benar-benar bukan seperti Uchiha Sasuke yang biasa.

END

 

I’m on wattpad!

Haiii readers ^0^

Disini ada yang punya wattpad? Kalau ada mampir ke cerita ku yukk hehe. Aku baru nge-post satu love letter nih^^ silahkan dibaca dan dikomen yaa (jeskaaf)

Ohya ngomong-ngomong, aku juga mau ngasih pemberitahuan kalau browser di note book aku lagi ada masalah T.T jadi aku minta maaf banget kalau bakalan lama nge-post kelanjutan ff player nya huhuu mianhae.

Tapi kalau kalian mau baca ff ku yang ber-cast MyungYeon, kalian bisa kunjungi: oppanuna.com untuk melihat dan membaca ff yang aku ikutkan di lomba yang diadakan website tersebut. Sayangnya ga dapet juara huhu u,u cuma masuk 30 besar :’3

katanya dari 30 besar itu akan dipost semua secara bertahap, nah jadi kalau kalian nemu ff dengan judul “Love in Winter” berarti itu ff aku, asli buatan aku ^0^

Kedepannya aku juga bakalan post ff itu disini kok ^^

At last, see ya guys ^0^

M O O D B O A R D

Do you know about YG NEW GG? Here’s one of the member. Park Chaeyoung a.k.a Roseanne Park a.k.a Rosè.

Rosè moodboard- Baby Blue is in the house 💙

image

Like/comment if you save it. And dont forget to take out with full credit ^0^

Wanna request? Just comment “the idol” below 👇